Api yang Menyala dari Pesantren

Setiap kali tanggal dua puluh dua Oktober tiba, bangsa ini seakan diajak menengok kembali halaman sejarah yang ditulis dengan tinta darah dan doa. Di balik hiruk pikuk Surabaya tahun 1945, ada kobaran api semangat yang lahir dari pesantren, dari tempat yang selama ini lebih dikenal dengan suara ngaji, sorogan kitab, dan lantunan wirid. Tapi pada hari itu, suara dari pesantren berubah menjadi teriakan jihad, menggema di seluruh penjuru negeri, membakar semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diikrarkan.

Resolusi Jihad bukan sekadar fatwa perang. Ia adalah tanda bahwa pesantren bukan menara gading yang terasing dari realitas bangsa. Para kiai waktu itu, dengan segala kesederhanaannya, melihat bahwa mempertahankan tanah air adalah bagian dari menjaga amanah Tuhan.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Dalam pandangan mereka, mencintai negeri bukan urusan politik belaka, melainkan bagian dari ibadah. Ketika penjajah datang kembali dengan bendera lain, mereka tahu bahwa diam berarti menyerah, dan menyerah berarti mengkhianati karunia kemerdekaan. Maka, dari pesantren ke masjid, dari langgar ke surau, semangat jihad pun menyala, menembus batas darah dan usia.

Namun, api itu tidak padam meski waktu berganti. Semangat Resolusi Jihad kini bukan lagi tentang mengangkat bambu runcing, melainkan menggoreskan pena, ilmu, dan kesadaran. Santri masa kini berhadapan dengan penjajahan bentuk baru, yaitu kebodohan, kemiskinan, disinformasi, dan ketimpangan sosial. Medan perang mereka bukan di Surabaya, tetapi di dunia maya, di ruang diskusi, di kelas-kelas pendidikan, dan di hati masyarakat yang mulai kehilangan arah nilai. Di sanalah santri modern meneruskan jihadnya dengan mengajarkan kebenaran, menegakkan keadilan, dan menjaga akal sehat publik.

Pesantren hari ini melahirkan lebih dari sekadar penghafal teks. Ia melahirkan pemikir, pegiat sosial, penulis, dan profesional yang membawa nilai-nilai keislaman ke dalam dunia modern. Mereka tidak meninggalkan kitab kuning, tapi juga tidak menutup mata dari tantangan zaman. Seorang santri yang menulis, seorang santri yang meneliti, seorang santri yang berdiri di depan kelas mengajarkan logika dan cinta tanah air, semuanya adalah bagian dari api yang menyala itu. Api yang dulu membakar semangat jihad, kini membakar semangat belajar dan berbuat baik.

Bila para kiai dahulu berani menghadapi meriam dan peluru, maka santri kini harus berani menghadapi arus kebodohan yang dikemas dengan kata-kata manis. Bila dahulu mereka melawan penjajahan fisik, kini mereka harus melawan penjajahan pikiran, melawan narasi yang memecah belah umat, melawan tafsir sempit yang menutup ruang berpikir. Sebab jihad yang sesungguhnya bukan hanya menumpas musuh di medan perang, tapi menegakkan kebenaran di tengah kabut kebohongan.

Maka setiap 22 Oktober bukan sekadar peringatan. Ia adalah ajakan untuk menyalakan kembali api yang dulu dinyalakan oleh para kiai dan santri. Api itu mungkin kecil, tapi ia cukup untuk menerangi langkah bangsa ini menuju masa depan yang lebih bermartabat.

Selama masih ada santri yang belajar dengan hati, guru yang mengajar dengan keikhlasan, dan umat yang mencintai negerinya dengan iman, maka api dari pesantren itu tidak akan pernah padam. Ia akan terus hidup dari generasi ke generasi, menyalakan semangat jihad dalam bentuk yang paling luhur, yaitu jihad untuk ilmu, kemanusiaan, dan keutuhan Indonesia.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan