Banyak pondok pesantren yang menjadi basis perlawanan terhadap penjajahan di zaman prakemerdekaan. Salah satunya adalah Pondok Pesantren As-Sunniyyah Kencong, Jember, Jawa Timur. Inilah dinamika salah satu pesantren tertua di wilayah timur Jawa Timur.
Di wilayah Jember dan sekitarnya, nama KH Djauhari Zawawi sangat disegani dan dihormati. Orang sering menyebutnya dengan “Kiai Djauhari Kencong”. Sebutan ini merujuk pada Pondok As-Sunniyyah, pesantren yang didirikan dan diasuhnya, yang terletak di Desa Kencong. Dus, Kiai Djauhari adalah pendiri Pondok Pesantren As-Sunniyyah, salah satu pesantren salaf tertua di Jember.
Kiai Djauhari yang telah berpulang pada 1994 sesungguhnya bukan asli Jember. Kiai Djauhari kelahiran Waru, Sidorejo, Rembang, Jawa Tengah, pada 1911. Tercatat sebagai cucu dari Raden Yusuf Mangkudirjo, yang masih keturunan Sunan Kalijaga. Eyang putrinya, Nyai Saroh binti Muhsin, adalah cucu Mbah Saman bin Sriman dari Klampis, Madura, yang mantan prajurit Goa Selarong, pasukan inti Pangeran Diponegoro. Mbah Saman ini kemudian memilih berjuang di bidang pendidikan dan merintis berdirinya Pondok Pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Adapun, ibunda Kiai Djauhari adalah Nyai Umamah bin Kyai Nur Khotib, yang termasuk keturunan ke-9 Sayyid Abdurrahmah Basyaiban alias Mbah Sambu, Lasem.
Berguru ke Banyak Kiai
Semasa remaja, Kiai Djauhari belajar dasar-dasar agama dari ayahnya, KH Zawawi di Waru, Sidorejo, Sedan, Rembang. Di halaman rumah dia dilahirkan, sampai sekarang masih berdiri kokoh madrasah diniyah yang dirintis ayahnya bersama Syaikh Hamzah Syatha, cucu Sayyid Bakri Satha, pengarang kitab I’anah al-Thalibin. Di usia 11 tahun, Kiai Djauhari sudah hafal kitab Alfiyah.
Seiring bertambahnyaa usia, Kiai DJauhari melanjutkan belajar agama dengan berguru kepada KH Abd Syakur (Suidang) dan KH Abul Fadlol (Senori, Tuban). Saat itu, dia juga sambil ngaji pada KH Ma’ruf, Jatirogo. Setelah itu dia tinggal di Kajen, Pati mengaji kepada kiai-kiai dzurriyah Mbah Mutamakkin, di antaranya KH Mahfudh (Abah KH Sahal Mahfudh), KH Nawawi. Setelah dua tahun di Kajen, Kiai Djauhari dia pindah ke Sarang untuk berguru kepada KH Umar, KH. Syu’aib, KH Imam, dan KH. Zubair. Ia juga belajar di Termas di pesantren yang diasuh KH Dimyati (adik Syaikh Mahfudh At-Turmusi).
Setelah mengelana di pesantren-pesantren daerah pesisir utara Jawa, Kiai DJauhari akhirnya mondok ke Tebuireng Jombang untuk berguru kepada Hadratus Syaikh KH Hasyim Asyari. Setelah beberapa lama di Tebuireng, Kiai Djauhari pindah ke Probolinggo, mengembangkan madrasah dengan dibantu oleh K Nawawi, Pajarakan, hingga berkembang pesat. Setelah kurang lebih dua tahun berada di sana, Kiai DJauhari memanggil adiknya KH Atho’illah untuk meneruskan perjuangannya di Probolinggo. Sementara itu, Kiai Djauhari melanjutkan pengelanaan ke Tanah Suci. Di Tanah Suci yang saat itu berkecamuk perang Wahhabi, Kiai Djauhari berguru kepada ulama-ulama Mekkah saat itu, seperti Syaikh Masduqi, Syeikh Hamdan, Syeikh Amin Kutby, dan lain-lain.
Perjuangan di Kencong
Setelah pulang dari Tanah Suci, pada 1942, Kiai Dajuhari mulai menetap di Kencong, Jember. Mula-mula ia membantu mengajar ngaji di musala waqaf Kiai Sholohin, sembari membuka pengajian kitab sendiri di kediamannya. Karena yang mengaji semakin banyak, 2-3 tahun kemudian didirikanlah bangunan pondok yang sederhana, terbuat dari bambu. Pondok-pondok ini untuk menampung santri yang mengaji.
Namun, pada 1946, pondok yang baru dirintis Kiai Djauhari tersebut diserbu dan diobrak-abrik tantara gabungan Belanda dari Probolinggo, Banyuwangi, Jember, Situbondo, dan Bondowoso. Tentara gabungan yang bersenjata lengkap tersebut mengadakan serangan umum dari berbagai penjuru, menumpas para gerilyawan Kencong. Rupanya, pondok Kiai Djauhari dijadikan basis pertahanan tentara Hizbullah. Kiai Jauhari yang termasuk target utama buronan Belanda harus berpindah-pindah tempat. Mengungsi.
Setelah suasana kondusif, Kiai Djauhari Zawawi kembali dari pengungsiannya, membangun kembali pesantrennya yang tinggal puing-puing. Ia dibantu santri-santri dari Banyuwangi, Magelang, Cilacap, dan lain-lainnya yang berminat belajar kepada kiai yang ahli (alim) dalam bidang fiqih dan tasawuf ini. Akhirnya, Pondok Pesantren As-Sunniyyah kembali berdiri.
Dari awal, melalui pesantren yang didirikannya, Kiai Djauhari berniat untuk menegakkan syariat Islam yang berhaluan Ahlus Sunnah wal Jamaah, mencetak kader-kader muslim yang bertakwa serta berguna bagi nusa, bangsa, dan agama.
Dalam mendidik santri, Kiai Djauhari berpegang teguh pada ajaran Imam Al-Ghozali dalam bidang tasawuf. Sementara itu, sistem pendidikan dan pengajaran yang ditempuh di pesantren ini adalah tradisional dan madrosi. Madrasah yang ada meliputi Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah (Dasar, Menengah Pertama, dan Menengah Atas). Dari ketiga tingkatan pendidikan tersebut, kitab tetap digunakan sesuai dengan tingkat kemampuan santri.
Untuk bidang fiqih, kitab yang dipelajari di antaranya Fathul Mu’in, Tahrir, dan Fathul Wahab. Untuk bidang akhlak/tasawuf, kitab yang dipelajari di antaranya Washoya, Ta’limul Muta’alim, dan Minhajul Abidin. Di bidang bahasa (Nahwu, Shorof dan Balaghoh), kitab yang dipelajari di antarnya Sabrawi, Jurumiyah, Imriti, AMtsilatut Tasrifiyah, Syarah Maksud, Alfiyah, dan Jawahirul Maknun. Sementara itu, di bidang hadits, kitab yang dipelajari di antaranya Arba’in Nawawi, Bulughul Marom, dan Abi Jamroh.
Jumlah santri dari tahun ke tahun terus berkembang. Pada tahun 1993-1994 tercatat 1900 santri, terdiri dari putra 700 orang dan putri 1200 orang. Mereka berasal dari berbagai daerah, seperti Jember, Banyuwangi, Kudus, Tasikmalaya, Lampung, Probolinggo, Rembang, Banyumas, Lumajang, dan Bali.
Kini pondok pesantren berdiri di atas tanah seluas 2,5 ha. Dengan status tanah wakaf dan milik. Sarana dan prasarana belajar juga semakin berkembang, antara lain empat gedung madrasah, dengan jumlah 32 ruang. Pesantren ini juga dilengkapi asrama santri, laboratorium computer, area Internet dan hotspot, perpustakaan multimedia, poliklinik, pusat MCK, RSI, dan koperasi.
Santri di sini juga mendapatkan penugasan unik, berupa pengabdian di daerah-daerah yang ditentukan pesantren. Misalnya, ada santri yang ditugaskan memberikan pengajian ke Bali, Lumajang, Bondowoso, Jakarta, Depok, atau bahkan di desa-desa tetangga terdekat. Biasanya, lama waktu penugasan satu tahun, bisa diperpanjang dan diperpendek dengan pertimbangan tertentu.