Asal Usul Nama Tuan Guru Abdul Kadir, Ulama Pembaharu Jambi

241 kali dibaca

Nama Tuan Guru (TG) Abdul Kadir di Jambi sudah tidak asing lagi. Beliau adalah pendiri Pondok Pesantren As’ad Olak Kemang, Seberang Kota Jambi.

Dikenal sebagai ulama pembaharu, TG Abdul Kadir menjadi ulama Jambi pertama yang secara terang-terangan mengadopsi sistem pendidikan modern ke dalam madrasah. Dia jugalah yang pertama menerima santri perempuan, menambah kurikulum umum hingga meninggalkan gaya sarungan yang sudah sangat kental dalam tradisi madrasah di Jambi.

Advertisements

Di dalam dunia ke organisasian, TG Abdul Kadir juga dikenal sebagai pelopor berdirinya cabang Nahdhatul Ulama (NU) di Jambi. Bersama dengan Kemas Abdus Somad, NU berdiri di Jambi sekitar tahun 1940. Pada 1955 ia juga terpilih sebagai Dewan Konstituante melalui Partai NU.

Tidak hanya dalam bidang pendidikan madrasah, keorganisasian dan politik, TG Abdul Kadir juga menjadi orang Jambi pertama yang mendirikan  sekolah tinggi agama di Jambi. Sekolah tinggi ini kemudian berkembang menjadi Universitas Islam Negeri Sultan Taha Jambi.

Oleh karena itu, sangat wajar jika nama TG Abdul Kadir begitu dikenal, terutama di kalangan para santri di Jambi.

Cerita di Balik Nama

Dalam perkelanaan saya ketika mencari bahan skripsi 2019 silam, beberapa guru dan keturunannya bercerita mengapa ia diberi nama Abdul Kadir, salah satu ulama tasawuf paling terkemuka di dunia Islam, yaitu Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

Semuanya bermula dari kakeknya yang bermana Syekh Abdul Majid Jambi. Syekh Abdul Majid Jambi adalah ulama Jambi yang paling berjasa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Beliau dilabeli oleh ulama Jambi di kemudian hari sebagai Syaikhul Masyaikh Ulama Jambi, yaitu gurunya para guru di Jambi.

Syekh Abdul Majid lahir sekitar tahun 1850 di Pecinan (sekarang dikenal dengan Seberang Kota Jambi). Pada masa mudanya, Syekh Abdul Majid belajar kepada ayahnya, Muhammad Abid dan pamannya yang dikenal dengan Ketib Mas’ud di Langgar Putih, Kampung Tengah, Seberang Kota Jambi.

Memasuki usia remaja, Syekh Abdul Majid berangkat haji ke Mekkah sekaligus untuk menuntut ilmu. Menurut kisah yang diceritakan keturunannya, ia terlibat ketika Syekh Bakri Syatha mendiktekan kitab I’anat Ath-Thalibin sekitar tahun 1879, yang berarti ia telah berada di Mekkah pada tahun itu atau lebih awal.

Pada tahun 1886 ia kembali ke Jambi menggantikan Ketib Mas’ud yang telah meninggal dunia di Langgar Putih. Di sini ia mendapat banyak sekali murid yang kemudian berkontribusi besar atas kemajuan pendidikan Islam di Jambi.

Memasuki abad ke-20 20, kondisi menjadi kacau. Belanda kembali melakukan ekspedisi militer pada 1901. Pada 1904, Sultan Taha yang telah lama berjuang di pedalaman akhirnya dapat ditaklukkan. Ia gugur pada pertempuran Betung Bedaro pada 27 April 1904.

Nampaknya situasi poitik membuat Syekh Abdul Majid gelisah, mengingat ia memiliki pengaruh di Jambi. Pada tahun yang sama dengan gugurnya Sultan Taha, ia kembali ke Mekkah. Konon, menurut satu cerita, mulanya ia hendak pergi ke Turki untuk menyampaikan surat Sultan Taha kepada Khalifah di Turki. Namun, gerakan tersebut diketahui Belanda sehingga ia mengubah haluan ke Mekkah.

Selama di Mekah ia kembali aktif di dunia mengajar dan mendapat izin mengajar di salah satu sudut di Masjid Al-Haram. Beberapa muridnya ketika mengajar di Langgar Putih sekarang juga ada di Mekkah, termasuk anaknya yang bernama Ibrahim. Ia langsung menjadi induk semang bagi pelajar Jambi di Mekkah. Kepadanyalah pelajar Jambi mengadu jika mendapat masalah selama di Mekkah.

Sekitar tahun 1911, ia berencana berziarah ke makam Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di Irak. Ibrahim setia menemani ke mana saja ayahnya pergi. Setelah selesai beziarah ke makam Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, mereka berdua berniat untuk kembali ke Jambi. Namun, di tengah perjalanan, di atas kapal sekitar Laut Merah, Syekh Abdul Majid jatuh sakit dan wafat ketika itu juga. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Laut Merah.

Ketika itu, istri Ibrahim sedang hamil. Untuk mengenang peristiwa itu, Ibrahim memberikan anaknya nama yang sama dengan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, yaitu Abdul Kadir.

Setiba di Jambi, Ibrahim dan murid-murid Syekh Abdul Majid Jambi yang lain mendirikan madrasah yang bernama Nurul Iman. Ia kemudian dikenal sebagai Guru Ibrahim. Di sinilah Tuan Guru Abdul Kadir belajar agama hingga ia menjadi ulama besar di Jambi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan