Puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Atau gubahan bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman hidup dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna tertentu.
Menurut Prof Dr Sumanto A Sayuti, di dalam bukunya Berkenalan dengan Puisi, puisi mempunyai makna yang terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga definisi puisi secara konkret tidak dapat dianalogikan dalam arti tetap.
Sementara, penggunaan istilah “spiritualitas” telah berubah sepanjang zaman. Di zaman modern, spiritualitas sering dipisahkan dari agama-agama abrahamik, dan berkonotasi campuran antara psikologi humanis dengan mistis dan tradisi esoteris dan agama-agama Timur yang ditujukan untuk kesejahteraan dan pengembangan pribadi. Spiritualitas yang dapat dikatakan sebagai kerohanian merupakan jalan rohani sebagai jejak sejarah di dalam kehidupan.
Mistisisme Puisi
Membaca puisi, menulisnya, serta membahas makna di dalamnya mempunyai roh puisi yang memberikan pengalaman yang bersifat mistis. Tidak jarang kata atau kalimat di dalam puisi itu sendiri memberikan dampak yang signifikan terhadap lelaku kita untuk berbuat baik dan semakin dekat kepada Tuhan. Maka larik puisi mempunyai kekuatan supranatural dan tak kasat mata bagi mereka yang mau mengambil hikmah dari makna puisi.
Puisi yang mempunyai makna khusus (mistis) tidak dibuat dengan cara sederhana. Tetapi, puisi itu tercipta dengan perenungan yang mendalam dalam meditasi jiwa untuk semakin dekat kepada pencipta.
Mistis jangan dimaknai sebagai bentuk “kegilaan” yang tidak bermakna. Tetapi kata ini sebagai metafor dalam pembuatan puisi yang harus disertai dengan keikhlasan, kejujuran, dan intuisi kesabaran. Dengan kata lain, puisi yang dibuat dengan penuh kesungguhan akan menghasilkan puisi yang akan kekal sepanjang zaman.
Spirit Puisi
Robert McDowell (2008: 2-3) melihat puisi dalam kehidupan di sekitar kita. Dan kita dapat memasukkan puisi ke dalam kehidupan sehari-hari dan praktik spiritualitas. Dalam makna ini puisi mempunyai spirit yang kuat untuk memunculkan media-kausalita agar terjadi koordinasi kerohanian yang mencerahkan. Sekecil apa pun nilai spiritualitas yang terkandung di dalam sebuah puisi, akan memberikan nilai-semangat interaksi vertikal maupun horizontal.
Begitu juga apa yang diungkapkan oleh Gleen Hughes (2011: 2) bahwa saat ini cukup beralasan disebut sebagai periode ketegangan spiritual. Karena dunia telah dipengaruhi paham sekuler dan materi. Puisi dapat dipandang sebagai wahana praktik spiritual dan puisi merupakan bahasa agama. Sebagai wahana spiritual berarti puisi memiliki jiwa kedigdayaan yang kalau dimanfaatkan secara maksimal akan melahirkan nilai rohani.
Sebagai bahasa agama, puisi mempunyai ruh dogmatis keagamaan yang akan melahirkan spirit of religion. Ruh puisi dapat menyelami seluruh unsur agama tanpa memilah model agama yang ada. Di dalamnya terdapat makna dogmatif serta nilai-nilai universal secara konprehensif.
Fox (1997 : 1989) mengatakan bahwa puisi merupakan penyembuhan alamiah. Puisi bukan hanya sebagai seni semata, tetapi puisi juga sebagai media yang dapat memberikan manfaat sangat nyata. Apalagi, puisi spiritual yang memang secara khusus menjadikan jiwa yang jatuh untuk bangkit kembali. Dalam makna ini puisi dipandang sebagai alat untuk memberikan terapi medis kepada para pembacanya. Tentu saja ada teknis khusus agar media terpi ini memberikan daya guna yang berkhasiat purna. Meditasi puisi akan memberikan dampak yang baik serta efektif sebagai media terapi yang spiriditas.
Sebagai media spiritualitas, puisi sebagaimana yang disampaikan oleh Geri Giebel Chavis (2011: 11-12), bahwa kata-kata memiliki kekuatan dan menjadi suatu hal (media-medis) bagi orang. Ketika kata-kata mampu memberi imajeri, mereka menyatu dalam visi di atas imajinasi dan berdampak positif kepada pembaca.
Kata-kata adalah doa. Sementara doa adalah interaksi faktual antara hamba dan Tuhannya. Maka akan mengalir nilai-nilai spiritual, terus menerus di dalam batang puisi yang syarat imaji teologis. Rabi’ah al-Adawiyah dalam sebuah larik puisinya, dalam buku “Mahabbah Cinta: Rabiah al-Adawiyah,” mengungkapkan, “Tuhanku, tenggelamkan aku dalan lautan cinta-Mu!” Wallahu A’lam!