Kita mengenal istilah “safih” atau dengan bahasa lebih gampang yaitu “otak lemah” atau “otak kurang”. Artinya, safih adalah orang yang lemah atau kurang akalnya, sehingga tidak bisa menasarufkan atau mendayagunakan harta benda dengan bijak. Keadaan ini membuatnya tidak boleh menasarufkan harta bendanya. Dalam suatu qoul, safih dipersamakan dengan anak kecil karena ketakbijakannya menasarufkan harta benda.
Di pesantren tempat saya mondok, ada juga santri yang safih. Secara fisik, tidak ada yang kurang sama sekali darinya. Dia posturnya tinggi, tidak gemuk dan tidak kurus. Rambutnya tumbuh subur dan menjulur lurus dari pangkal kepala. Giginya rapi teratur dan selalu kelihatan bersih karena dia rajin membersihkan gigi terutama saat mandi. Gerakannya gesit bahkan. Kalau kita coba beradu lari dengannya, barangkali akan kalah. Dia berlari dengan sangat cepat, sangat ngotot, tidak peduli apa pun.
Selama ini, dia hampir tidak pernah sakit. Ya, memang katanya orang yang seperti itu justru tidak gampang sakit. Entah karena apa. Ada yang mengatakan alasannya begini, “Karena dia tak ada beban pikiran seperti kita-kita ini. Jadinya fisik dia sehat terus.”
Ada juga yang mengatakan, “Karena dia tak makan aneh-aneh seperti yang kita makan. Makannya cukup nasi lauk biasa, minum air putih atau teh. Selesai.”
Saya pikir, semuanya benar. Sama-sama bisa masuk ke dalam penalaran akal sehat. Tinggal kita apakah mau percaya salah satu atau kedua-duanya. Masing-masing memiliki hak yang sama.
Guyonan Bersama Safih
Saya memohon ampun kepada Allah, karena sering kali guyonan dengan teman kami yang safih itu. Guyonan dalam arti, saya sendiri atau kadang bersama teman-teman menjaili si safih. Semoga perbuatan kami tidak sampai mendatangkan murka Allah. Sebab, sepenuhnya kami hanya bercanda supaya bisa tertawa bersama.
Permisi saya akan menceritakan guyonan-guyonan kami bersama si safih. Dengan ini saya ingin katakan bahwa sesungguhnya saya dan teman-teman di asrama menyayanginya.
Si safih teman kami adalah orang yang gampang emosi. Gampang percaya. Gampang dipancing untuk ini itu. Gampang tertawa. Gampang marah. Sering kali kami kalau sedang duduk di majelis menunggu kerawuhan ustaz, menyempatkan diri untuk guyonan bersama si safih.
Misal, saya katakan padanya, “Bos, rumahmu di mana?”
Dia akan jawab dengan menyebut nama desanya. Lalu, saya akan berkata, “Jarene omahmu ilang lho.” (Katanya rumahmu hilang).
Pasti dia akan jawab, “Ah, ra mungkeeeeen!” (Ah, tidak mungkin).
Kalau sudah terpancing begitu, tinggal saya teruskan, “Wellah. Kok ra percoyo.” (Lah, kok tak percaya).
Safih: “Ora bakal!” (Tidak akan).
Saya: “Tenan. Omahmu keli.” (Rumahmu hanyut).
Safih: “Ora. Ora. Omahku isih ono neng KTP.” (Tidak! Tidak! Rumahku masih ada di KTP).
Saya: “Tilikono. Tenan. Wes ilang.” (Coba cek. Serius. Sudah hilang).
Orang yang duduk di majelis kalau menyaksikan kejadian seperti ini pasti tertawa, sebab teman kami yang safih ini menjawab setiap omongan saya dengan muka yang khas. Agak tertekuk-tekuk, dibumbui kejengkelan karena merasa dipermainkan, bercampur dengan melas karena sesungguhnya dia orang yang gampang percaya, bahkan meski mulutnya bilang sebaliknya. Memang, kalau sudah capai menanggapi, pasti mukanya berubah jadi melas. Saya tentu juga turut tertawa bersama teman-teman santri yang lain.
Banyak guyonan yang saya lakukan bareng teman yang safih ini. Rasanya akan panjang sekali kalau mau diceritakan semuanya. Oleh karena itu, cukup satu contoh kasus itu saja saya kira.
Sebuah Kabar Buruk
Menurut penuturan guru kami, murabbi ruh kami, Romo Kiai M Katib Masyhudi, “Santri yang safih di pondok itu selalu ada dalam setiap waktu.”
Mulanya kami tenang-tenang saja. Tapi kemudian suatu peristiwa terjadi. Teman kami yang safih itu tiba-tiba tidak ada di pondok. Kabar punya kabar, ternyata dia dikursuskan ke Magelang, mengikuti pelatihan-pelatihan membuat kerajinan tangan.
Walhasil, pernyataan Romo Kyai membuat saya dan santri-santri lain agak was-was juga. Sebab, beliau sempat menambahkan pernyataannya, “Kalau safih yang ada di pondok kita sudah pergi, siap-siap saja, mungkin salah satu dari kalian yang akan menjadi penggantinya.”
Yogyakarta, 2021.