Di sela-sela workshop penulisan kreatif dan jurnalistik jejaring duniasantri di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, 21-22 Agustus 2025, saya terlibat obrolan dengan Mbak Eva Maulidiyah. Mbak Eva yang tergolong penulis duniasantri generasi awal ini ikut sebagai peserta.
Dalam obrolan itu, ia mengajukan satu pernyataan yang menuntut tanggapan: “Makin ke sini, sepertinya duniasantri makin selektif memilih tulisan. Dan tulisan yang dimuat memang semakin berkualitas, tidak seperti masa-masa awal dulu…”

Pernyataan itu juga didasarkan data pada dashboard web duniasantri.co. Saat itu, total tulisan yang masuk redaksi sekitar 8.500 naskah, dan yang dirilis hampir 4.500. Artinya, ada sekitar 4000-an naskah yang tak dirilis.
Saya kemudian membenarkan pernyataan Mbak Eva itu. Kita tak mungkin hanya berjalan di tempat. Harus terus berkembang, terutama dari segi kualitas penulisan.

Demi peningkatan kualitas itu, kami, pengelola web duniasantri.co, akan “memaksa” para penulisnya untuk terus belajar tiada henti. Salah satu caranya, memasuki tahun ke-7 ini, redaksi duniasantri akan mengurangi atau meminimalkan fungsi editingnya, lalu mengedepankan fungsi kurasinya.
Artinya, hanya naskah-naskah yang benar-benar dalam kondisi “ready to release” yang akan dirilis. Tapi bagi penulis pemula atau yang baru kali pertama submit naskah akan dikecualikan. Mereka akan tetap memperoleh sentuhan editing seperti biasanya, bahkan mungkin diberi asistensi hingga naskahnya benar-benar layak rilis.
Tentu, pengurangan fungsi editing ini akan membawa konsekuensi tersendiri. Mungkin akan terjadi pelandaian perilisan naskah dari sisi volume. Sebab, naskah-naskah yang setelah dikurasi masuk kategori belum dalam kondisi “ready to release”, akan “dibiarkan” sampai dilakukan perbaikan sendiri oleh penulisnya.
Apa yang dimaksud dengan naskah belum “ready to release” adalah naskah-naskah yang harus memperoleh sentuhan editing karena berbagai tingkatan kesalahan dan/atau kelemahan dalam penulisan.
Misalnya, dari yang paling elementer, adalah kesalahan penulisan ejaan (bukan sekadar typo) yang berulang dan banyak dalam satu naskah. Juga penyusunan frasa atau kalimat yang tak sangkil mangkus. Jika itu terjadi pada penulis yang baru pertama kali submit naskah, dapat dimengerti. Tapi jika terjadi pada penulis yang naskahnya sudah berulang kali dirilis setelah melalui proses editing, berarti ada sesuatu yang salah. Tidak ada proses pembelajaran di sana.
Misal yang lain adalah perkara miskin informasi dan/atau data dalam tulisan. Bahkan informasi dan data paling elementer pun seringkali diabaikan oleh penulisnya. Contohnya, banyak naskah resensi buku yang tak menyertakan informasi detail bukunya, seperti nama penerbit, tahun terbit, ketebalan, ISBN, dan seterusnya. Itu artinya, si penulis resensi tak pernah membaca atau tak peduli dengan resensi-resensi buku yang sudah pernah dimuat di web duniasantri. Artinya juga tak ada proses pembelajaran di sana.
Contoh lain, banyak naskah tentang profil pondok pesantren atau profil tokoh (sosok) tapi hanya berisi pandangan/penilaian penulisnya, tanpa dilengkapi dan didukung dengan data atau informasi tentang hal ihwal subjeknya.
Selama ini, jika ada kekurangan data seperti itu, maka tim redaksi duniasantri akan melakukan riset sederhana (browsing) untuk mencari sendiri data dan informasi yang diperlukan. Setelah ini, hal itu tidak lagi dilakukan, dan naskah-naskah seperti itu akan dikategorikan belum “ready to release” sampai penulisnya menyempurnakannya sendiri.
Berikutnya, seperti yang sudah sering diungkapkan, salah satu yang diutamakan sebagai faktor kelayakan rilis di duniasantri adalah adanya unsur kebaruan, lengkap dengan kontekstualitas dan relevansi suatu tulisan. Kebaruan isu dan temanya, atau kebaruan sudut pandang dan pendekatannya, misalnya. Mungkin saja, dari sisi teknis penulisan sudah oke, tapi karena tak adanya unsur kebaruan, naskahnya bisa tak diterbitkan. Contohnya, pada 30 September-1 Oktober kemarin ada sekitar 10 naskah bertema G30S/PKI dan Pancasila yang tak dirilis karena isinya hanya mengulang-ulang cerita lama. Kalau tak ada unsur kebaruan, untuk apa kita menulis?
Lalu, banyak naskah yang belum sesuai dengan karakteristik duniasantri. Contoh kecil soal penjudulan tulisan. Pilihannya jatuh pada judul yang ringkas, pendek, padat, tapi tetap menarik (eye catching). Sangat jarang judul-judul duniasantri lebih dari 7 kata. Kebanyakan malah hanya 4-6 kata. Rupanya, masih banyak penulis yang membuat judul begitu panjang, sampai menjadi kalimat tersendiri, meskipun pada tulisan-tulisan sebelumnya selalu diedit menjadi pendek.
Contoh lain lagi soal penggunaan (gaya) bahasa. Sedari mula, pilihan jatuh pada bahasa baku, sesuai dengan tata bahasa yang berlaku, seperti yang diterapkan Tempo, Kompas, Media Indonesia, dan media mainstream lainnya. Karena itu, jangan coba-coba menulis menggunakan bahasa tutur apalagi bahasa gaul dan slengekan untuk duniasantri. Ini berlaku juga untuk naskah genre puisi dan cerpen. Sebelum submit naskah puisi atau cerpen, sebaiknya kenali dulu seperti apa puisi-puisi dan cerpen-cerpen ala duniasantri.
Dus, itulah cara duniasantri “memaksa” para penulisnya terus belajar agar kualitas penulisan makin meningkat. Tidak boleh lagi sekadar so so. Jangan sampai ada orang berkata: ah, tulisan santri gitu-gitu aja!
Caranya bagaimana? Mula-mula kita harus belajar menulis yang benar, lalu yang baik, lalu yang menarik. Meskipun sudah jadi, tak harus kita buru-buru submit naskah. Perlu dibaca ulang satu-dua-tiga kali untuk menemukan di mana kesalahan dan kekurangannya. Kalau perlu minta orang lain turut membaca dan memberi komentar. Kalau tidak yakin dengan penulisan ejaan dan pilihan diksi, maka bukalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kalau tidak yakin dengan model dan standar penulisannya, maka baca-bacalah tulisan-tulisan terdahulu yang telah dirilis duniasantri sesuai dengan rubrikasinya. Jumlahnya sudah ribuan untuk dijadikan contoh atau rujukan.
Kalau bukan kita sendiri, siapa lagi yang bisa meningkatkan kualitas kepenulisan kita.