Babi Ngepet dan Hal-hal Sejenisnya

21 views

Saya punya kelakar yang sering saya selipkan dalam berbagai obrolan dengan kawan-kawan. Joke itu kira-kira begini: hanya ada dua jalan untuk bisa menjadi kaya, menjadi maha kaya, terutama bagi orang-orang yang hidup di Indonesia.

Jalan pertama adalah menjadi pengusaha, berbisnis. Dan terbukti memang. Orang-orang super kaya, orang-orang dengan kekayaan berlimpah, hampir selalu melalui jalan sulit ini.

Advertisements

Dan jalan yang kedua untuk menjadi kaya raya adalah dengan menjadi koruptor. Menjadi pejabat negara lalu menumpuk kekayaan dengan melakukan korupsi. Dan terbukti memang. Banyak orang super kaya, dengan kekayaan berlimpah, menempuh jalan mudah nan berisiko ini. Tanpa korupsi, rasanya sulit seorang pejabat negara memiliki kekayaan berlimpah ruah seperti halnya para pengusaha sukses. Profil gaji yang bicara.

Hanya tersedia dua jalan itu? Ya. Jika Anda seorang buruh atau pegawai rendahan, gaji sebulan cukup untuk dimakan selama 30 hari sudah tergolong “mewah”. Seringkali, dari golongan ini, uang gaji sudah habis sebelum tanggal tua. Karyawan golongan menengah dan atas masih beruntung bisa menyisakan gaji untuk ditabung. Tapi untuk menjadi orang super kaya, tetap akan jauh panggang dari api. Dengan menjadi petani? Jangan mimpi.

Mungkinkah dengan jalan menjadi profesional? Ya. Mungkin. Untuk profesi-profesi tertentu memang bisa mengantar orang hidup berkecukupan dari penghasilannya. Namun, tetap, ia akan sulit menandingi capaian kekayaan para pengusaha dan koruptor. Mereka, kaum profesional ini, mungkin akan berhenti pada tangga “hidup berkecukupan”.

Dengan “teori” itu, mem-profilling orang-orang super kaya yang mungkin kita kenal sebenarnya perkara gampang. Anda tinggal melihat sumber pendapatan dan penghasilannya. Jika sumber penghasilannya adalah bisnis, apalagi jaringan bisnisnya (konglomerasi) merambah ke sektor-sektor yang lagi booming, wajar seseorang menjadi kaya raya, super kaya.

Tapi jika ada seorang pegawai negeri atau pejabat pemerintah memiliki kekayaan yang jauh melampaui profil kepangkatan dan gajinya, hanya ada dua kemungkinan: memiliki sumber penghasilan lain, semisal punya bisnis tertentu, atau korupsi. Segampang itu jika ingin menelisik sumber kekayaan seseorang.

Tapi belakangan, “teori” dua jalan menuju kekayaan itu seakan dimentahkan oleh kehebohan soal babi ngepet yang akhir-akhir ini viral di media sosial. Rupanya ada “jalan ketiga” yang, diakui atau tidak, pernah menjadi bagian dari tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Ada sumber kekayaan yang datangnya dari alam gaib.

Jika kita membaca buku berjudul Wali Berandal Tanah Jawa karya George Quinn, kita akan ingat bahwa kita, sebagai masyarakat bangsa, pernah mengalami hidup yang diwarnai dengan hal-hal seperti babi ngepet itu. Jejaknya masih ada dan terasa hingga kini. Dan bahkan masih dipraktikkan hingga kini.

Buku setebal 552 itu merupakan hasil riset George Quinn selama bertahun-tahun dengan mengunjungi ratusan tempat-tempat keramat atau makam orang-orang suci atau wali di Tanah Jawa. Memang, sebagian besar buku Quinn ini berisi tentang hal-ikhwal makam para wali atau orang-orang suci. Namun, ada satu bab terselip, yang berjudul “Dari Mana Asal Usul Uang”, yang berisi tempat sesajenan dan praktik pemujaan untuk mencari kekayaan melalui alam gaib atau kekuatan magis.

Praktik itu disebut mencari pesugihan. Quinn menceritakan salah satu keluarga di Madura yang memiliki anjing jadi-jadian —yang disadurnya dari sebuah novel berbahasa Jawa berjudul Prewangan Gunung Mandhalika. Tokoh utama dalam novel ini adalah orang miskin yang tidak tahan dengan kemiskinannya. Maka, ia pergi Gunung Mandhalika untuk mencari pesugihan. Di sanalah si tokoh membuat “kontrak” dengan kekuataan gaib yang bisa memberikan kekayaan yang diinginkan dengan beberapa syarat. Syarat pertama, anak kesayangan dari keluarga ini harus dijadikan tumbal. Syarat kedua, pada malam tertentu, si tokoh harus bersenggama dengan anjing jadi-jadian itu —tentu saja saat persenggamaan berlangsung si anjing berubah wujud menjadi perempuan.

Juwahir, si tokoh dalam novel ini, akhirnya memang menjadi orang paling kaya di desanya tanpa harus bekerja. Quinn kemudian menisbahkan kisah novel ini ke Gunung Kawi, tempat paling sohor untuk mencari pesugihan, hingga kini. Quinn pun mengunjungi Gunung Kawi di Jawa Timur pada abad ke-21 ini, dan ia menemukan begitu banyak orang masih memberikan persembahan untuk mencari pesugihan.

Dalam penjelajahan Quinn, ditemukan modus pesugihan itu beraneka ragam. Anjing jadi-jadian dan babi ngepet adalah di antara yang paling popular. Ada juga tuyul. Seperti hal babi ngepet, tuyul-tuyul ini dipelihara pencari pesugian untuk mencuri kekayaan dari orang lain.

Apakah soal pesugihan ini nyata? Jika mencermati buku Quinn ini, tampaknya hal-hal seperti itu nyata, atau dianggap nyata. Sebab, dalam buku ini, dengan jelas Quinn menyebut beberapa taipan Indonesia yang namanya sangat popular telah membangun dan memiliki tempat persembahan khusus di lereng Gunung Kawi. Nama-nama mereka juga tertera di sana. Sejauh ini, tak ada sanggahan atau bantahan terhadap buku Quinn.

Mungkin Quinn benar bahwa praktik mencari pesugihan seperti itu masih terjadi hingga di era milenial ini. Tapi kehebohan yang terjadi di Depok, Jawa Barat, akhir-akhir ini memberi satu pelajaran bahwa babi ngepet dan hal-hal sejenisnya bisa menjadi isu liar yang sangat menyesatkan. Bisa menjadi sumber fitnah dan ketegangan sosial. Terbukti, hewan naas yang dipotong lehernya itu toh hasil rekayasa dari seseorang.

Jika kita masih percaya akan babi ngepet dan hal-hal sejenisnya, itulah tanda kematian akal sehat. Jika akal sehat telah mati, tak tersedia jawaban untuk apa seseorang harus menjadi kaya, dan dengan cara apa.

Multi-Page

One Reply to “Babi Ngepet dan Hal-hal Sejenisnya”

Tinggalkan Balasan