Di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, banyak ditemukan ayat dan hadis yang secara lahir berlaku terhadap perkara yang bersifat natural. Padahal, hal itu berada di luar kemampuan manusia. Seperti sabda nabi la taghdhab, yang artinya jangan marah. Hadis ini secara lahir mengandung arti jangan marah ketika terjadi penyebabnya.
Untuk menanggulani ‘kejanggalan’ ini, ada kaidah ushul fikih berbunyi: la taklifa bil umuri al jibilliyyah, tidak ada pembebanan hukum terhadap perkara naluriah (pembawaan). Manusia sulit bahkan tidak bisa mengatur perasaanya sendiri. Bisa tiba-tiba sedih, marah, atau bahagia. Oleh karenanya tidak ada pembebanan hukum pada hal-hal seperti ini. Dengan demikian, maksud dari hadis itu bukan larangan marah itu sendiri, akan tetapi larangan terhadap hal-hal yang tidak baik yang ditimbulkan oleh rasa marah.

Begitu pula dengan rasa cinta. Cinta adalah hal yang natural, bisa timbul dari suatu sebab dan kadang tiba-tiba muncul tanpa sebab. Oleh karena itu, syariat tidak mengatur manusia dalam perasaan cintanya. Jadi, rasa cinta kepada kekasih orang, misalnya, tidak bisa menimbulkan suatu hukum apapun, baik itu haram atau mubah.
Posisi cinta adakalanya sebagai akibat dari suatu sebab, dan adakalanya menjadi penyebab bagi suatu akibat. Ketika cinta menjadi akibat, maka manusia sebetulnya mampu untuk melakukan atau tidak terhadap sesuatu yang menjadi penyebabnya. Dan manusia juga mampu untuk mengarahkan cintanya kepada hal-hal yang baik ataupun yang buruk.
Syariat datang untuk mengatur segala perbuatan yang ditimbulkan oleh rasa cinta itu. Misalnya, ketika seorang lelaki jatuh cinta kepada perempuan yang tidak bisa diharapkan lagi halalnya, maka dia haram menikahinya, apalagi bercumbu dengannya. Sebab, jika ia tidak bisa menahan diri akan terjerumus ke dalam kerusakan.
Di sisi lain, ada kaidah ushul fikih yang berbunyi “setiap jalan yang menyebabkan kebaikan maka harus di buka (fath al-dzariah), dan setiap jalan yang menyebabkan keburukan maka harus ditutup (sad dal-dzariah).”
Setiap perilaku yang menimbulkan cinta yang berakibat positif, maka harus dilakukan. Dan setiap perilaku yang menimbulkan cinta yang berakibat buruk harus di tinggalkan.
Misalnya, jika seorang lelaki mencintai perempuan dan hendak ingin menikahinya, maka ia diperkenankan untuk melihat wajah dan tangan perempuan itu sebelum melamar. Begitu pula sebaliknya, perempuan itu boleh melihat lelaki yang ingin menikahinya, selama itu bukan aurat.
Contoh lainnya adalah keharaman berduaan (khalwat) dengan orang yang belum halal. Hal ini dikarenakan perbuatan itu berpotensi besar menimbulkan keburukan, misalnya perselingkuhan bahkan perzinahan. Karena potensi terjerumus kepada keburukan sangat tinggi, maka tertutup rapat legalitasnya.
Aturan syariat tentang hubungan cinta antarmanusia lebih banyak berupa larangan daripada yang berbentuk perintah. Sebagian peraturan tersebut bersifat preventif (pencegahan) dan sebagian bersifat kuratif (penanganan). Hal ini tak lain hanyalah untuk terwujudnya kemaslahatan.
KH Afifuddin Muhajir dalam bukunya Manajemen Cinta ala Fikih, menyatakan bahwa intinya dalam urusan percintaan adalah bagaimana rasa cinta yang bersemai di hati tidak bermuara pada hal yang tidak direstui Allah. Dan, bagaimana manusia menjauhkan diri dari hal-hal yang potensial menumbuhkan rasa cinta kepada selain pasangannya.
Fikih memang tidak mengatur soal rasa cinta. Tetapi, fikih mengatur sesuatu yang ditimbulkan oleh rasa cinta dan sesuatu yang dapat menimbulkannya. Ini bukan karena rasa cinta itu perkara buruk, melainkan karena penanganannya yang sulit.