Bahasa, Sejarah, dan Pemikiran dalam Kajian Islam

11 views

Aspek bahasa, sejarah, dan pemikiran merupakan intisari gagasan dari seorang pemikir Muslim ternama yang mencoba melakukan “pembacaan ulang” terhadap teks-teks (baca: nash) syar’i. Mohammed Arkoun, yang menyusun ide tiga kesatuan tersebut, merupakan seorang pemikir yang lahir di Kabilia pada 28 Februari 1928. Setting historis daerah kelahirannya pada waktu itu masih sangat dipengaruhi oleh para elitis dengan nuansa konservatif. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan jika Arkoun lebih memilih Perancis, tempat studinya, sebagai tempat menghabiskan usia dengan berkarya daripada negeri ibu pertiwinya.

Kembali pada topik yang diangkat: bahasa, sejarah, dan pemikiran. Arkoun melihat bahwasanya salah di antara faktor yang melanggengkan kejumudan atau stagnasi Islam sebagai sebuah agama adalah pemisahan ketiga faktor yang sangat krusial tersebut.

Advertisements

Pemaknaan secara pragmatis ketiga hal tersebut akan berujung pada sentralisasi legitimasi yang dikuasai oleh para elitis agamawan dan menutup ruang dialogis diskursif. Oleh karenanya, Arkoun, juga termasuk para pemikir dan reformis lain seperti Fazlur Rahman dan An-Na’imi, membawa konsep “Rethingking of Islam” yang mengajak umat Islam untuk merekonstruksi atau membangun ulang pemikiran Islam yang selama ini mengalami kejumudan.

Dalam pandangan Arkoun, nash syar’i tidak bisa hanya dibaca dengan mengedepankan aspek kebahasaannya saja sebagaimana yang populer digeluti oleh para sarjana Muslim terdahulu. Bahasa sebagai produk yang lahir dari tarik-menarik antara interaksi sosial dan budaya tidak dapat dipisahkan dari kesejarahannya. Memisahkan bahasa dengan sejarahnya akan berimplikasi fatal terhadap teks yang dibaca karena teks tersebut akan menjadi korpus tertutup atau dengan kata lain tidak terbuka lagi ruang interpretasi.

Korpus tertutup, menurut Ali Harb, seorang filsuf dan cendikiawan Muslim dari Lebanon, hanya akan mereduksi cakupan makna yang justru sangat luas dari teks itu sendiri. Kebenaran yang dikandung dalam nash syar’i tidak terbatas hanya pada apa yang dibaca, melainkan mencakup apa yang tidak terbaca dari nash itu sendiri.

Pemahaman terhadap apa yang dibaca dari nash tersebut justru pada akhirnya menggantikan posisi nash itu sendiri. Pengkultusan suatu pemahaman terhadap nash dapat dijadikan sebagai alat legitimasi bagi suatu golongan untuk menekan golongan yang berkonfrontasi dengannya dan inilah yang terjadi setelah pintu ijtihad ditutup paksa pada abad X atau XI Masehi.

Bahasa sebagai faktor sentral bagi pemahaman terhadap suatu teks berdinamika beriringan dengan sejarah sebagai latar belakang bahasa itu sendiri. Dengan menggunakan pemahaman tersebut, maka kegiatan mereduksi teks yang notabene menggunakan bahasa merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Bahasa yang digunakan oleh suatu komunitas penutur akan selalu bergerak maju selaras dengan berputarnya roda sejarah. Membaca suatu teks hanya dengan bahasanya saja, dan itu pun bahasa yang digunakan adalah bahasa yang dipisahkan dari sejarah, tentu akan menghilangkan cakupan makna teks itu sendiri.

Di samping keterikatannya dengan sejarah, Arkoun juga mengaitkan bahasa dengan pemikiran. Landasan pemikiran dapat dianalogikan sebagai mesin yang mengolah bahasa untuk menghasilkan suatu pemahaman dari proses pembacaan. Dasar-dasar, pola dan karakteristik, aliran dan mazhab, faktor sosio geografis, dan pengaruh politik memberikan sumbangan besar terhadap pembentukan suatu pemikiran.

Kita dapat melihat bagaimana gradasi paradigma pemikiran komunitas yang tinggal di kota metropolitan seperti Baghdad yang menjadi pusat perpolitikan Islam pada waktu itu dan komunitas yang tinggal di kota suci seperti Makkah dan Madinah yang kental dengan tradisi periwayatan. Hal ini tentu akan melahirkan corak pemikiran yang beragam dan sekaligus menghasilkan hasil pembacaan atau pemahaman yang berbeda pula.

Dengan mengusung ketiga unsur yang menjadi mesin penggerak bagi rekonstruksi pemikiran Islam, Arkoun sebenarnya ingin melawan kejumudan atau stagnasi yang masih menghantui umat Muslim. Sebagai solusi atas permasalahan kolektif umat Muslim tersebut, Arkoun menawarkan agar pemikiran-pemikiran dari luar Islam harus diterima sebagai alat untuk merekonstruksi pemahaman internal Islam itu sendiri. Umat Muslim dalam tradisi intelektualnya tidak boleh menutup diri dari penggunaan kerangka metodologis yang dibawa dari luar Islam, terutama Barat, atas dasar sentimental.

Dalam lingkup internal umat Muslim, komunitas-komunitas keagamaan juga seharusnya terbuka terhadap pemikiran yang datang dari luar suatu komunitas tersebut. Ali Harb juga menegaskan bahwa awal mula terjadi pengkultusan suatu pemahaman adalah dengan menahan dan menutup diri dari ruang dialog diskursif yang sehat. Pemikiran dan kerangka metodologis yang berasal dari suatu komunitas tidak serta merta harus ditolak atas dasar taassub atau fanatisme buta. Setiap komunitas harus berani menanggalkan jubah keangkuhan komunitasnya dan berdialog secara terbuka demi mencari kebenaran.

Implementasi konsep tersebut secara nyata di lapangan akan menjadikan kebenaran dalam beragama mengalami desentralisasi. Tidak adanya suatu komunitas elitis yang memonopoli kebenaran sebagai sumber legitimasi akan menjadi alternatif preventif penyalahgunaan kebenaran dalam agama. Agama bukanlah suatu yang profan, tetapi suatu yang sakral. Oleh karenanya, sangatlah tidak pantas jika agama disalahgunakan oleh suatu komunitas elitis yang merasa bahwa kebenaran hanyalah kebenaran yang mereka monopoli di atas orang lain.

Sumber Bacaan

Ali Harb, Kritik Kebenaran, Lkis Pelangi Aksara, 2004 (Terjemahan Sunaworto Dema)

Baedhowi, Antropologi Al-Qur`an, Lkis Pelangi Aksara, 2009

Multi-Page

Tinggalkan Balasan