Di pondok pesantren, saya pernah hidup dengan tradisi yang sangat khas: ‘menelanjangi’ teks fikih abad pertengahan (turāṯ), menelaah kata demi kata, hingga mengurai logika penulis di balik setiap istilah. Tradisi ini melatih ketelitian dan kesabaran intelektual, meski terkadang terasa lambat dibandingkan dunia berpikir modern yang serba cepat.
Namun kini, ketika saya lebih banyak berkutat dengan logika berpikir formal dan isu-isu kontemporer, interaksi saya dengan turāṯ (khazanah klasik) pun berubah. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul biasanya langsung saya jawab dengan kerangka rasional: “Jawabannya begini, nanti cari di kitab sendiri.”

Dan, memang, hampir selalu ada sandaran di kitab. Tapi pengalaman kembali membuka lembar-lembar kuning, menelusuri dalil, dan mencocokkannya dengan jawaban, menghadirkan kenikmatan tersendiri—sebuah rasa yang sulit tergantikan oleh sekadar analisis logis.
Dalam konteks inilah saya melihat kembali peran Bahtsul Masail. Bagi saya, forum ini adalah salah satu wadah keilmuan paling prestisius di tradisi pesantren. Di sana, seorang santri bisa berdebat dengan siapa pun—bahkan guru atau seniornya—tanpa rasa takut kehilangan nilai atau dianggap lancang. Yang berlaku hanyalah hujjah: siapa yang paling kuat dalil dan argumentasinya. Ini sesuatu yang jarang kita temui dalam forum akademik lain yang seringkali dibatasi oleh hierarki.
Meski begitu, Bahtsul Masail bukanlah puncak dari segalanya. Ia adalah salah satu metode, bukan tujuan akhir. Saya melihat ada kecenderungan tekstual-formalistik dalam beberapa forum yang menjadikan turāṯ semata sebagai gudang jawaban. Padahal, yang lebih penting adalah menggali turāṯ sebagai madrasah berpikir, bukan hanya sebagai kumpulan fatwa siap saji.
Dalam menghadapi modernitas, kita ditantang untuk membangun jembatan antara turāṯ dan isu kontemporer. Jika hanya terpaku pada teks, kita bisa terjebak dalam kebekuan. Jika hanya mengandalkan logika modern, kita bisa tercerabut dari akar tradisi. Maka, meminjam istilah Kiai Afifuddin Muhajir, yang dibutuhkan adalah kemampuan membedakan, antara tsawābit (yang tetap) dan mutaghayyirāt (yang berubah), serta keberanian untuk memanfaatkan metodologi ulama klasik guna menjawab tantangan baru.
