Seperti biasanya, pada Minggu pagi di pondok diadakan roan, kerja bakti bersih-bersih di lingkungan pesantren. Ada santri yang kebagian mengepel musala, menyapu halaman, menguras dan membersihkan jeding, menyapu ruang-ruang kelas, mencabuti rumput-rumput liar, dan, tentu saja, membersihkan bilik masing-masing.
Saya bersama seorang teman santri memilih menyapu dan mengumpulkan sampah-sampah tak jauh dari tempat pembuangan sampah. Tanpa dinyana, entah dari arah mana datangnya, Pak Kiai sudah berada di samping saya. Kami langsung membungkuk memberi hormat, tentu saja dengan rasa cemas dan waswas kalau-kalau…
Tiba-tiba Pak Kiai menunjuk tanah, “Coba itu kamu ambil.”
Kami saling menoleh bingung. Di atas tanah yang ditunjuk Pak Kiai hanya ada beling, pecahan bohlam atau lampu listrik. “Ya, itu… beling itu,” kata Pak Kiai saat saya mencoba memungutnya.
Beling itu pun saya serahkan kepada Pak Kiai, teman saya diam membatu. Kini beling itu ada di tangan Pak Kiai, ditimang-timang sebentar, lalu diserahkan kembali pada saya. “Makanlah,” perintah Pak Kiai sambil tersenyum.
“Lah, apa salah saya pagi-pagi sudah dihukum, disuruh sarapan beling,” kata saya dalam hati dengan tubuh gemetar. Teman saya kian membatu.
Seakan tahu kegalauan dan ketakutan yang saya rasakan, Pak Kiai menepuk bahu membesarkan hati saya. “Makanlah. Kamu sudah bisa memakannya,” Pak Kiai mengulang perintahnya, tetap dengan tersenyum.
Samina wa athona, krek-krek-krek…, saya pun memakannya. Masyaallah, dalam sekejap beling itu hancur, menjadi tepung, menjadi bubur di mulut saya. Jadilah, pagi itu saya sarapan bubur beling.
Pak Kiai tersenyum sambil sekali lagi menepuk bahu saya, “Sudah tambah satu lagi ilmumu.” Saya masih terdiam takjub. “Asal kamu mampu menjaga diri, tetap menjalani hidup bersih, ilmu itu tak akan hilang,” kata Pak Kiai sambil berlalu.
Sampai beberapa tahun kemudian, sesekali saya masih mencoba “mengunyah” beling dan, alhamdulillah, dengan krek-krek-krek beling-beling itu menjadi tepung. Tapi, sekarang, jangankan menggigitnya, sekadar membayangkannya pun sudah tak berani lagi. Anda pasti tahu kenapa….
***
Sahabat-sahabat santri, cerita itu, atau cerita-cerita seperti itu, hanyalah satu di tengah belantara cerita yang hingga kini tetap hidup di dunia santri, di pesantren-pesantren. Mungkin hal-hal semacam itu kita anggap sebagai sesuatu yang remeh, atau kita remehkan, tapi nyata benar sebagai bagian dari tradisi hidup dunia santri, ada di pondok-pondok pesantren.
Kami yakin, tiap santri, atau pesantrennya, pasti memiliki “1001 cerita” yang entah itu dari peristiwa unik, lucu, menyedihkan, atau gokil. Saat di pondok, mungkin kita sering menjadi tukang ghosob sendal atau justru menjadi korbannya; mungkin kita pernah digundul karena melanggar peraturan pondok; mungkin kita pernah disuruh membersihkan dan mengisi jeding karena membandel; mungkin kita pernah kabur dari pondok; atau, mungkin kita bagian dari santri yang selalu mengharap berkah kiai, karena itu lebih sering minum “air suwuk” ketimbang belajar dan mengaji, dan sebagainya, dan sebagainya.
Nah, untuk menampung cerita-cerita seperti itu, yang bisa saja merupakan pengalaman pribadi atau teman sesama santri, situs duniasantri.co telah menyiapkan rubrik baru “Santri Way”. Bisa kita artikan sebagai “jalan santri” atau “gaya santri”. Atau, bisa juga dibaca dalam bahawa Jawa: santri wae…
Rubrik Santri Way dikhususkan untuk menampung cerita-cerita atau pengalaman santri saat mondok yang, sekali lagi, tetap sebagai “tradisi hidup” di dalam pesantren. Sahabat-sahabat santri tinggal menuliskannya, atau merekamnya, lalu mengirimkan ke redaksi.
Selain rubrik Santri Way di duniasantri.co, sahabat-sahabat santri juga bisa membagikan cerita-cerita atau pengalaman serupa ke akun Instagram Jejaring Dunia Santri. Sebab, kami juga tengah menyiapkan kanal khusus “santri berbagi pengalaman mondok” di akun Instagram Jejaring Dunia Santri.
Mari berbagi cerita, dan berkarya…
Redaksi