Biasanya, tempat yang paling baik (afdal) ketika salat berjamaah adalah yang paling dekat dengan imam atau shaf (barisan) terdepan. Hal ini sesuai dengan hadis shahih, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang yang salat di shaf pertama.” (HR Abu Dawud).
Dan di hadis yang lainnya disebutkan, “Seandainya manusia mengetahui keutamaan yang terdapat pada adzan dan shaf pertama, kemudian mereka tidaklah akan medapatkannya kecuali dengan diundi, niscaya pasti mereka akan mengundinya.” (H.R Muslim).
Tidak dengan “idealism” santri. Bagi santri, tempat terbaik dalam salat berjamaah bukan di barisan yang paling dekat dengan imam. Hal ini tentu ada alasannya. Bahkan, meskipun alasan tersebut di luar konsep syariat. Artinya, selama itu bukan perbuatan dosa —memilih barisan di luar yang utama bukanlah suatu dosa— maka memilih barisan di tempat lain adalah tidak masalah.
Demikian menurut sebagian santri, khususnya di Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep, Madura, saat penulis masih aktif sebagai santri dulu. Sekali lagi, ini terjadi saat penulis masih mondok, sekitar tahun 1990-an.
Adalah sebuah pohon sawo kecik (sabu kecet, Madura) alasannya. Ya, di bawah pohon tersebut biasanya beberapa santri (tidak semuanya, hanya sebagian kecil saja) bergerombol dan menghampar tikar (sajadah) dan membentuk barisan salat.
Hal tersebut dilakukan karena (hanya terjadi pada saat musim buah) berharap ada buah sawo yang jatuh. Biasanya buah yang sudah masak akan jatuh dan menjadi rebutan para santri. Hal inilah yang menyebabakan santri berebut rindang pohon sawo demi buah-buah ranum yang mungkin jatuh.
Biasanya lagi, hal tersebut terjadi pada saat jamaah salat maghrib. Sebab pada saat itu seluruh santri diwajibkan untuk berjamaah. Maka berjejallah beberapa santri mencari tempat “istijabah” dengan harapan ada buah sawo kecik yang menjadi takdirnya saat itu. Tentu saja hal tersebut menjadi sebuah nostalgia kelak di kemudian hari. Tidak perlu saya kisahkan di sini, apakah penulis termasuk pemburu tempat “istijabah” tersebut? Hee…
Dulu, (sekarang sudah tidak ada, ditebang demi kenyamanan para santri, mungkin saat ibadah juga) di depan masjid Pesantren Annuqayah terdapat tiga pohon berbeda yang cukup rindang. Yang paling besar pohon sawo kecik, di sebelah selatannya pohon kenitu (sawo duren adalah nama sejenis buah dari suku sawo-sawoan. Buah ini juga dikenal dengan nama sawo apel, sawo ijo atau apel ijo, sawo hejo, sawo kadu, kenitu atau manécu, dan sawo manila, wikipedia) dan di sebelah utaranya pohon mangga. Nun jauh di sebelah timur ada banyak pohon, seperti pohon sawo manila (sawo biasa), pohon kelapa, dan pohon-pohon lainnya.
Itulah sekelumit kenangan di masa pondok dulu. Ada memorial yang dapat dijadikan kenangan untuk diingat-ingat kembali tentang segala hal saat masih mondok. Baik dan buruknya akan menjadi ibrah, pengingat diri. Sehingga, apa pun yang kita perbuat di masa lampau dapat dijadikan cerminan untuk perbuatan yang lebih baik di masa sekarang dan di waktu yang akan datang.
Memburu tempat “strategis” seperti kisah di atas bukan sesuatu yang bernilai kebaikan. Oleh karena itu, ke depan, kita dituntut untuk memperbaiki diri dari aspek apa saja sehingga kualitas hidup dan ibadah kita semakin baik. Membangun kemaslahatan diri untuk kebaikan bersama merupakan pola hidup yang sesungguhnya. Sebuah aplikasi dari khairukum ‘anfa’ukum lighairikum, hal yang paling baik adalah memberikan kebaikan (manfaat) kepada orang lain. Wallahu A’lam!