“Merdeka-kan Hamba Ya Allah,” begitu penggalan puisi MH Ainun Najib. Puisi cinta yang menggelora dihadirkan untuk pembaca di era banjir hasrat serta kepentingan. Akibatnya, banyak orang makin gagap memahami Tuhannya akibat ulah manusia yang tidak mampu mengantarkan mereka pada mencintai Allah secara merdeka.
Diawali dari praktik-praktik keagamaan yang sejatinya kurang mencerminkan sikap keislaman sejati. Dalam artian, mereka tidak sepenuhnya mengamalkan —untuk tidak dikatakan sama sekali meninggalkan— pendidikan esensial Islam itu sendiri. Pendidikan esensial Islam yang mengajarkan tentang cinta kasih dan nilai-nilai universal seperti persaudaraan, menjauhkan diri dari hegemoni manusia satu atas lainnya, otoritarianisme penguasa, tidak membeda-bedakan antara mereka satu sama lainnya, saling menghargai, mengedepankan musyawarah dan lain-lain sebagainya.
Kehadiran agama Islam bukan untuk memberatkan pemeluknya dengan adanya sebuah kompilasi hukum untuk mengatur setiap laku gerak hamba. Adanya sebuah hukum dalam Islam justru harus dihadirkan dengan penuh cinta dan kasih sayang. Penerapan hukum Islam pun kepada pemeluknya tidak diperlakukan secara sewenang-wenang dan penuh paksaan, melainkan harus dengan pendekatan persuasif dan keteladanan. Karena keteladanan moral merupakan esensial risalah Islam.
Konsep Islam ramah bahkan telah dipraktekkan secara langsung oleh Nabi Muhammad Saw. Dasar yang bisa kita petik adalah hadis Nabi dengan sabdanya, “Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia, budi pekerti yang luhur” dan Alquran surat Al-Anbiya’: 107 dan QS. Ali Imran: 31, di mana Allah Swt secara eksplisit menegaskan bahawa beragama harus didasarkan pada cinta kasih dan Nabi diutus sebagai rahmat kasih sayang Allah bagi alam semesta.
Ketika Rasulullah Saw masih ada, agama Islam masih mencerminkan dirinya sebagai agama cinta. Namun tidak demikian pascameninggalnya Rasulullah, para sahabat dan juga generasi berikutnya menjadi tidak karuan semanjak munculnya ideologi politik. Spirit risalah kenabian sebagai cinta kasih, independensi, penyucian jiwa, digantikan dengan pendekatan fikih atau hukum praktis, yang berorientasi mendukung penguasa.
Sedangkan pendekatan fikih, menurut Muhammad Nursamad Kamba, akan menghasilkan produk-produk hukum positif-manusiawi, yang memberi peluang kepada peguasa untuk betindak semena-mena kepada umat.