Upaya kita menahan berbagai macam keinginan agar supaya hati menjadi suci adalah dengan berpuasa. Atau dalam pemahaman tasawuf berpuasa menjadikan hati ini bersih selain dari hadirat-Nya, kalbu dihuni hanya oleh Allah semata. Di sisi yang lain dengan berpuasa kita juga belajar bagaimana bersyukur dan empati terhadap kehidupan orang yang kurang atau kesulitan penghidupan terutama sulit makan. Lantas apa hubungannya dengan puisi?
Puisi tak lain adalah endapan daripada citarasa kita yang banyak mengambang di permukaan, atau dalam pengertian yang lebih gamblang puisi itu saripati kehidupan yang perangkat katanya berasal dari bahasa yang telah kita peras dengan pengalaman kedalaman rasa.
Tentu untuk mendapatkan saripati atau untuk menemukan endapan kita harus bersabar, ber“puasa” (menahan diri) untuk bisa meraihnya. Seperti kata pepatah, ‘untuk mendapatkan mutiara kita harus menyelam ke dasar lautan’.
Dengan kata lain ada hubungan erat antara berpuasa dengan berpuisi, keduanya sama-sama menahan dan membutuhkan kesabaran yang ekstra, dua-duanya sama-sama membutuhkan empati untuk menangkap gejala kehidupan termasuk kondisi manusia yang tercerabut dari akar sosialnya atau yang terdiskreditkan karena mengalami pemiskinan terus menerus.
Jika puasa adalah menahan hawa nafsu dari mulai terbit fajar hingga terbenam matahari (harfiahnya), atau secara tasawuf berlatih menyucikan hati secara terus menerus tiap saat sehingga semata-mata hanya berakrab ria dengan hadirat-Nya (hakikatnya), puisi menahan kita dari terburu-buru mengekspresikan sesuatu pengalaman atau pemikiran, puisi membuat kita lama menghayati sesuatu dengan “rasa” sambil terus memikirkan kata sampai pada suatu titik waktu ia pantas untuk dilahirkan, dituliskan, “berbuka” istilahnya, menjadikan puisi.
Berpuasa tentu saja tidak boleh sembarangan, harus menjaga sikap bahkan hati harus terus diarahkan ke hadirat-Nya. Dalam puisi sama, kita harus menjaga sikap, bahkan bila perlu sering diam (merenung/melamun) dan terus mengarahkan hati kita kepada pengalaman “rasa yang dalam” itu sambil terus fokus memikirkan kata.
Pantang bagi penyair jika membuncahkan kata-kata begitu saja dalam benaknya tanpa selektif “memeras” dan “membuang” yang tidak pas, ia harus pelan-pelan memikirkan kata, frase-frase, sebelum akhirnya tersusun sebagai puisi yang berkemungkinan “utuh”.