Polemik mengenai kebolehan dalam bersastra, seperti bersyair, bermusik, dan sebagainya seperti tidak ada habisnya. Bagi kalangan yang mempermasalahkan hal ini, bersyair atau bermusik merupakan sesuatu yang diada-adakan tanpa hujjah yang cukup sharih. Bersyair dan bermusik (dan tindakan yang menyertainya) dianggap dapat menjauhkan seorang muslim dari Allah. Inilah yang dijadikan illat bagi kalangan yang tidak memperbolehkan bersyair atau bermusik.
Di sini penulis lebih menitikberatkan pada pembahasan tentang syair atau puisi melalui hadits. Dalam beberapa riwayat, Nabi pernah mengemukakan pandangan dan responsnya terhadap sebuah syair, yang mana mempunyai maksud yang sama dengan pelantunannya. Dalam riwayat Bukhari Nomor 6154 (dari Ibnu Umar) dikatakan bahwa,
لَأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ أَحَدِكُمْ قَيْحًا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا
Artinya:
“Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah, daripada ia penuhi dengan syair.”
Asumsi yang terbangun setelah kita membaca hadits ini pasti akan mengarahkan pada larangan dalam bersyair. Karena pada redaksi hadits tersebut, Nabi menyebutkan bahwa bersyair tidak lebih baik daripada mengisi perut dengan nanah. Diksi “قَيْحًا” atau “nanah” pada hadits tersebut yang mempunyai konotasi buruk, yang menjurus pada sebuah kejelekan.
Syaikh Musthafa Dib al Bugha, ilmuwan hadits dari Universitas Damaskus, memberikan komentar terhadap hadits tersebut. Beliau mengemukakan bahwa makna sebenarnya dari kata جَوْفُ adalah القلب yang berarti “hati”. Sedangkan, makna dari kata قَيْحًا adalah الصديد الذي يسيل من الدمل والجرح أو هو الأبيض الخاثر الذي لا يخالطه دم, yang artinya “nanah yang muncul dari sebuah luka busuk atau sesuatu berwarna putih pekat yang tidak bercampur dengan darah”.