Baru-baru ini, opini publik yang dibentuk melalui program tayangan Xpose Uncensored di Trans7 memicu kontroversi dan menciptakan kegaduhan di banyak tempat. Ini menunjukkan adanya framing sesat dan telah mendustakan esensi sejati dunia pesantren.
Sebut saja, bagaimana sebuah tayangan dengan menampilkan informasi secara tidak proporsional, dibumbuhi dengan narasi bernada negatif. Tayangan itu adalah bentuk framing sesat yang dapat menggiring opini negatif terhadap sosok kiai serta lembaga pendidikan pondok pesantren secara keseluruhan.

Bisa dilihat, saat sajian pada segmen salah satu episodenya, yakni dengan isi kalimat “Santrinya Minum Susu Aja Kudu Jongkok, Emang Gini Kehidupan Pondok?” Hal itu jelas memojokkan kehidupan para santri sehingga berpotensi menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat dan cenderung merendahkan budaya pondok pesantren serta kiainya.
Maka, pada kasus ini penulis melihat terjadinya kegagalan media dalam menyuguhkan informasi esensi sejati tentang dunia pesantren. Akibatnya, tradisi dilingkungan pesantren seolah dianggap tidak lazim, ditambah dengan penggiringan opini tentang praktik feodalisme di lingkungan pesantren.
Yang perlu disadari, framing sesat ini dapat menjadi faktor kerentanan sosial dan menciptakan wacana yang dapat memecah belah. Maka, peristiwa ini penting menjadi alarm bersama, menjadi pengingat khususnya bagi para pengelola media, untuk selalu tetap memegang teguh kaidah dan prinsip etika publik yang berlaku.
Framing sebagai Alat Dusta
Mari kita belajar dari sosok seperti Umberto Echo, seorang akademisi dan profesor dari Universitas Bologna dalam memahami wacana sesat tentang dunia pesantren ini. Bagi Echo, framing seperti itu sesungguhnya bisa menjadi alat untuk melakukan dusta. Sebab, framing yang manipulatif menggunakan tanda-tanda secara selektif untuk menonjolkan aspek tertentu sambil menyembunyikan aspek lain, untuk menciptakan ilusi kebenaran atau kebohongan yang terstruktur. Hal itu merupakan bentuk kedustaan.
Karena itulah, apa yang dihadirkan melalui tayangan Xpose Uncensored di Trans7 tersebut dapat disebut sebagai praktik nyata bagaimana pembentukan opini tentang pesantren telah dimanipulasi dan hanya untuk kedustaan.
Rangkaian kata, gambar, atau simbol lain dalam bentuk narasi yang dihadirkan dalam tayangan itu dapat menggantikan sesuatu yang lain secara signifikan, sehingga interpretasinya tentang dunia pesantren bukan lagi dihadirkan sebagai pusat peradaban, moralitas, dan kebangsaan yang telah melahirkan banyak ulama dan pemimpin bangsa.
Kegagalan dalam menghadirkan esensi sejati tentang pesantren ini berakibat pada terjadinya reaksi keras, khususnya dari kalangan santri dan pesantren, yang merasa didustakan. Seperti gerakan aksi boikot melalui tagar #BoikotTrans7, serta kecaman lainnya, terhadap program Trans7 yang dinilai tidak sensitif terhadap nilai-nilai kultural dan religius masyarakat Indonesia, terutama umat Islam yang menjadikan kiai dan pesantren sebagai pilar spiritual serta penjaga tradisi kebangsaan.
Sebagai hikmah, peristiwa ini perlu mejadi perenungan bersama. Bagi setiap insan media harus mengedepankan etika, tanggung jawab sosial, serta sensitivitas budaya dan agama dalam setiap produksi setiap tayangan yang disuguhkan untuk masyarakat luas.