BULAN DI ATAS REAL KERETA
di puncak malam itu kau berbisik, “lihatlah bulan.”
bulan yang telanjang, mengapung jauh di lautan awan
aku memandang dari balik jendela
mungkin ia hendak mengabarkan rahasia
yang dikandung hikayat di suatu masa
aku bersiul melantunkan tembang
ingin angin membawanya terbang
mengarungi angkasa menyusul bulan
mengurai rahasia yang terapung di gugusan awan
tapi keretamu lekas bergerak menjauh
sehabis subuh
sebelum rahasia terurai
pada penghabisan pagi
aku ingin mendengar bisikmu lagi, “lihatlah bulan.”
bulan yang telanjang terapung di pangkuan
DEBUR OMBAK DI PETITENGET
Debur ombak yang mengguntur itu
adalah rinduku
pada perempuan bermata sayu
yang selalu menyeru namaku
ketika ia berkaca
pada sebaskom air mata
Debur ombak yang mengguntur itu
adalah rinduku
pada lelaki bermata nyalang
yang membuat kudukku meremang
ketika menyusun kata-kata
seperti sedang mengokang senjata
Debur ombak yang mengguntur itu
adalah rinduku
rindu gaung
pada gunung
ELEGI TEMPO HARI
“Aku masih bocah, Bapak, kenapa kau mengayun kapak?”
Pada sebatang pohon seekor burung gagak nangkring, menginding. Bertengger dalam diam, matanya angker menggodam. Angin berhenti berdesir, ranting-ranting berhenti berdzikir. Selembar daun gugur, barangkali karena uzur.
“Sebab jika besar nanti, Anak, kau yang akan mengayun kapak.”
Seekor celurut mendelik di sebalik belik, mengindik. Kukunya tajam mencengkeram. Matanya garang menerawang bayang pada celah lalang yang berhenti bergoyang. Di belik, air telah berhenti menitik.
“Aku masih bocah, Bapak, hanya tahu pada yang nampak.”
“Kau memang masih bocah. Pergilah sebelum hatimu goyah.”
“Kenapa, Bapak?”
“Karena aku bukan masa depanmu, seperti kelak kau juga tak sudi aku menjadi masa lalumu.”
Sayap seekor gagak mengepak. Buntut seekor celurut beringsut.
HENING, HENINGLAH MALAMKU
Hening, heninglah alamku
Hening, heninglah malamku
Adakah kabar telantar
yang mesti kudengar
di antara belukar
sehabis terbakar
Ingin kudengar lagu rindu
di antara derap rapi sepatu
dari bibir mungil bergincu
dari hati yang galau
Hening, heninglah alamku
Hening, heninglah malamku
Aku datang
dari sebuah siang yang terangsang
pada tubuh malam yang telanjang
di bawah bulan yang menerang
Ingin kutuntaskan rindu mendendam
pada tubuh malam yang jadi pengeram
lahirnya masa sebening pualam
dari risau hati anak-anak haram
Malam, malamlah malamku
Kuingin lebur dalam heningmu