Bunuh diri kelas adalah ciri yang paling menonjol dari Malamatiyah. Bukan bunuh diri fisik. Para sufi Malamatiyah berusaha untuk “membunuh” kelas sosialnya sendiri dengan menanggalkan status sosial tinggi, melepaskan privilege (hak istimewa), label-label bergengsi, simbolisasi hierarki, dan elitisme. Lalu membaur bersama masyarakat awam dan umum tanpa terkekang oleh kelas-kelas sosial yang mengekang bikin rikuh, kaku, dan berjarak.
Para sufi Malamatiyah melakukan awamisasi pada dirinya sendiri. Menciptakan masyarakat tanpa kelas. Tak berjarak satu dengan yang lain. Dari situ, para sufi Malamatiyah bisa bergaul secara intens, membaur, mengetahui dan merasakan apa yang dialami masyarakat pada umumnya.
![](https://i0.wp.com/www.duniasantri.co/wp-content/uploads/2022/09/Duniasantri-Telegram-Acquistion.jpeg?fit=1280%2C720&ssl=1)
Sejatinya apa yang dilakukan para sufi Malamatiyah dengan bunuh diri kelasnya ialah upaya untuk terus menghidupkan nilai luhur kesetaraan sesama manusia. Di hadapan Allah adalah sama. Kelas sosial seringkali melupakan dan bahkan bertentangan serta menghancurkan nilai kesetaraan itu sendiri.
Setidaknya ada dua pola bunuh diri kelas yang dilakukan para sufi. Pertama, meninggalkan kelas sosialnya yang tinggi dan bergengsi. Seperti Ibrahim bin Adham yang meninggalkan singgasana kerajaannya dan memilih hidup sebagai sufi kelana dan membaur bersama masyarakat umum.
Hal yang sama dilakukan oleh Imam al-Ghazali yang meninggalkan gelar guru besarnya di Universitas al-Nidzhamiyah dan memilih uzlah, menyepi dan menepi, total hidupnya untuk berzikir dan menulis.
Ada banyak tokoh sufi baik di peradaban Islam klasik maupun di peradaban Nusantara. Sedikit saya saya spill tentang sufi Nusantara yang meninggalkan kelas sosialnya yang tinggi. Di antaranya, yaitu Joko Tingkir alias Mas Karet alias Adiwijaya yang kata Gus Dur telah meninggalkan kerajaan Pajang dan lebih memilih bikin majelis pengajian di tengah masyarakat.
Gus Dur sendiri menurut saya adalah tokoh sufi Malamatiyah yang melakukan bunuh diri kelas dengan rela meninggalkan kursi presiden dan lengser keprabon.
Di Yogyakarta, ada Kiai Nur Iman yang meninggalkan kehidupan kerajaan dan lebih memilih hidup menjadi pembimbing masyarakat.
Di Cirebon dan Buntet ada Mbah Muqoyim dan sebagian besar keluarga Sunan Gunung Jati lebih memilih hidup bersama masyarakat dengan membangun tajug (musala) dan menyayangi fakir miskin. Karena Sunan Gunung Jati dalam wasiatnya tidak menitipkan kerajaannya, akan tetapi menitipkan tajug dan fakir miskin. Beliau berkata, “Isun titip tajug lan fakir miskin”.
Jadi apa yang dilakukan Joko Tingkir, Gus Dur, Kiai Nur Iman, Mbah Muqoyim dan keturunan Gunung Jati adalah bunuh diri kelas ala sufi Malamatiyah.
Kedua, bunuh diri kelas berupa memerangi hidup hedonistik, lebih memilih hidup sederhana, berorientasi pada kemaslahatan bagi masyarakat, menjauhkan diri dari kepentingan pribadi, dan terus melatih diri bahwa jabatan dan harta untuk mendekatkan diri pada Allah dengan menggunakannya sebaik mungkin untuk kemakmuran dan kemajuan rakyatnya.
Cara kedua itu ialah cara sufi Malamatiyah yang berada dalam kekuasaan. Dicontohkan, Sahabat Abu Bakar Siddiq yang selalu jujur dan amanah ketika memimpin, terbuka menerima kritik dan saran, orientasi pada kemanusiaan dan kemaslahatan bagi warganya. Beliau berkata, “Tempat tinggal kami adalah fana. Fasilitas dan kehidupan kami adalah titipan.”
Umar bin al-Khtatthab yang memilih hidup sederhana, tidur berbantal pelepah kurma yang keras dan kasar meski kekuasaannya disegani oleh dunia pada saat itu. Tidak menggunakan fasilitas kekuasaannya.
Sahabat Usman bin Affan terkenal ahli sedekah dan dermawan. Semasa memimpin ia sering kali menyamar layaknya masyarakat biasa, hidup membaur bersama warga, dan bahkan bermain bersama anak-anak kecil.
Dikisahkan satu hari Sahabat Utsman sedang berada di kebun kurma. Beliau membawa seikat kayu bakar bersama empat ratus anak muda dan pembantunya.
Lalu ada yang bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apa yang sedang engkau lakukan?”
Sahabat Utsman menjawab, “Aku sedang melatih diriku sendiri”.
Artinya bahwa jabatan tidak menjadi penghalang untuk melakukan apa saja yang bermanfaat sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya. Beliau sedang membunuh potensi kesombongan diri dan gengsi akibat jabatan yang disandangnya.
Sahabat Ali bin Abi Thalib tak diragukan lagi sebagai pintu ilmu pengetahuan, dan sebagian besar tarekat silsilahnya bersanad kepadanya. Alangkah baiknya akan ditulis dalam catatan tersendiri. Di sini saya hanya ingin menampilkan satu percakapan seorang umat bertanya pada Sahabat Ali.
“Wahai Amirul Mukminin mukminin, apa ciri-ciri iman?”
Sahabat Ali menjawab, “Ada empat tanda iman, yaitu; sabar, yakin, menegakkan keadilan, dan berjuang untuk kebaikan (jihad)”.
Sahabat Ali senang bersama fakir miskin dan anak-anak yatim dan membantu meringankan beban hidup mereka.
Sahabat Ali berkata, “Seandainya kemiskinan berwujud manusia, niscaya aku akan membunuhnya.”
Sahabat Ali tak punya rasa sombong dan tidak mentang-mentang menantu dan ahli bait Nabi lalu gengsi dan jaim. Sebaliknya, Sahabat Ali asyik membaur dengan orang-orang yang termarginalkan, tersisihkan, terpinggirkan oleh keadaan.
Jakarta, 17 Desember 2024.