“Akal sehat jangan dibiarkan mati dengan meniru cara-cara radikal dan senang dengan serba kekerasan yang risikonya hanya tunggal: menghancurkan peradaban dan diri sendiri,” demikian nasihat Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif dalam buku Tuhan Menyapa Kita (hlm. 31).
Juni 2020 lalu, karya Buya Syafii Maarif diterbitkan oleh IRCiSoD Banguntapan, Yogyakarta. Di buku tersebut, ia menegaskan maksud dan tujuannya menulis buku dengan tajuk Tuhan Menyapa Kita itu. Sebagaimana yang tertuang dalam Pengantar Penulis, ia menyampaikan bahwa tulisan yang termuat dalam karyanya tersebut adalah salah satu keprihatinan dari seorang warga negara yang sudah berusia di atas 80 tahun seperti dirinya. Dari buku itu, ia ingin membangun optimisme di tengah lautan penderitaan rakyat kecil yang belum beruntung, dengan catatan elite politik bangsa jangan terus berkubang dalam lumpur dosa dan dusta.
Lebih lanjut, ia juga menyatakan, di berbagai kesempatan ia sering mengatakan bahwa yang lumpuh adalah hati nurani dan akal sehat. Tidak ada jalan lain yang terbuka, jika kita benar-benar ingin bangkit secara autentik, kecuali dengan menghidupkan kembali kepekaan hati nurani yang salah satu bentuknya adalah menegakkan hukum secara tegas, adil, tetapi tetap dalam koridor kearifan. Borok bangsa ini sudah terlalu parah. Oleh sebab itu, ia mengajak kita, apa pun yang bisa kita perbuat harus kita lakukan, tidak boleh diam, sekalipun tampaknya kecil.
Buya Syafii masih percaya bahwa orang baik di Indonesia masih banyak. Inilah yang memberi harapan bagi kemungkinan untuk bangkit. Ia berharapa agar kita jangan sampai kehilangan keberanian untuk berterus terang kepada bangsa ini, asal disampaikan dengan santun, jujur, dan terbuka.
Buku dengan tebal 274 halaman ini, terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, tentang agama sebagai instrumen kebangkitan bangsa. Bagian kedua, memperteguh etika politik untuk memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan ke-kita-an. Sedangkan bagian ketiga, berkenaan dengan rekonstruksi tata dunia baru yang lebih adil dan beradab.