Pembicaraan mengenai pesantren, kiai, dan santri, akhir-akhir ini masif beredar di kanal media sosial kita sehari-hari. Banyak pro-kontra yang menyelimuti topik tersebut, bak perseteruan di antara dua kalangan. Yang satu yang hidup di luar garis pesantren. Yang lain dari kalangan yang lahir dari rahim pesantren.
Namun, pertanyaan yang patut diajukan, bagaimana menyikapi berbagai fenomena tersebut? Apakah absah apabila menyampaikan narasi yang diklaim sebagai “kritik” dengan memakai skema generalisasi, dan mencatut nama-nama besar yang dihormati?

#BoikotTrans7 dan Logika Pasaran
Penulis rasa, tagar #boikottrans7 ini bukan sekadar luapan emosi sesaat, melainkan alarm serius atas kegagalan media arus utama dalam memahami kultur ke-Indonesia-an yang majemuk.
Pemicunya, tayangan program Xpose Uncensored yang menyoroti kehidupan pesantren (utamanya relasi antara kiai dan santri) dengan narasi yang provokatif, di mana penghormatan diartikan sebagai eksploitasi, dan takzim dicap sebagai feodalisme.
Tayangan tersebut secara mentah menafsirkan santri, dengan segala tindak-tanduknya, yang menghormati seorang guru atau kiai sebagai bentuk perbudakan. Narasi liar ini jelas mencerminkan kecacatan dalam melihat fenomena secara parsial.
Mereka yang berada di luar pagar pesantren, melihat tradisi ini sebagai sesuatu yang aneh, atau bahkan primitif; karena diukur dengan standar pengajaran yang serba equal, individualis, dan sekuler ala Barat. Kultur pesantren, di mana pertalian kiai-santri yang erat dengan ikatan batin dan spiritual, diabaikan!
Tayangan yang ditampilkan seakan menjadi ekskavator untuk merobohkan sebuah institusi pendidikan yang berlandaskan nilai spiritual ilahiah dan sarat tradisi.
Insiden ini merupakan contoh paling nyata ketika “logika pasaran”, dengan kebanggaan konstruksi epistemik Barat, dibawa untuk menghakimi ranah yang sama sekali berbeda, baik secara konstruksi historis maupun kulturalnya.
Penulis memaksa untuk bertanya, “Mengapa media memilih kacamata yang memojokkan, alih-alih kacamata kearifan yang mencoba memahami dan menghargai warisan budaya sendiri?”
Kacamata Silence Learning
Baik, penulis di sini tidak akan terfokus pada kutipan-kutipan dalil naqli maupun referensi kitab kuning, melainkan menyelami dan mengimbangi sudut epistemik yang mereka gunakan ala kultur Barat.
Hemat penulis, tagar #boikottrans7 menunjukkan adanya pergulatan dalam bingkai penglihatan yang digunakan untuk memahami relasi kiai dan santri. Suguhan Dat Bao, pengajar Monash University dalam bidang Education Culture & Society, tentang Silence Learning/ Communicatioon, patut untuk kita jadikan paradigma lain dalam melihat fenomena di pesantren.
Menurutnya, keheningan dalam proses belajar, terutama yang banyak dijumpai dalam budaya Timur, bukanlah pasif atau kosong, melainkan sebuah wadah aktif (active vessel) yang setara dengan berbicara.
Dat Bao menjelaskan, misalnya dalam Exploring How Silence Communicates (2020), bahwa keheningan dapat diterapkan dalam pembelajaran melalui dua pendekatan utama: (1) sebagai sarana untuk memproses materi secara mental, atau (2) sebagai objek studi untuk menganalisis dan mendiskusikan penggunaannya dalam interaksi komunikasi.
Dari argumentasi Bao tersebut, aktualisasi ini relevan jika ditarik ke ranah relasi kiai-santri dalam skema pengajaran tradisional di pesantren.
Ekspresi Respect & Humility
Keheningan adalah manifestasi nyata dari penghormatan (seperti takzim atau sungkem) kepada guru. Dalam relasi kiai dan santri, keheningan adalah bahasa santri untuk menunjukkan kerendahan hati dan kesiapan menerima ilmu secara total, menyadari bahwa sumber ilmu (si kiai) adalah pribadi yang otoritatif secara spiritual dan intelektual.
Pemrosesan Kognitif
Keheningan memberikan ruang bagi santri untuk merenungkan dan menginternalisasi ajaran yang kompleks. Ini adalah periode penting untuk refleksi dan asimilasi ilmu, sebuah proses yang sering terganggu oleh tuntutan interaksi verbal yang agresif dalam gaya pendidikan Barat.
Transmisi Nilai
Keheningan juga menjadi medium transmisi nilai yang lebih halus. Kiai tidak hanya mengajarkan melalui perkataan, tetapi juga melalui perilaku (uswah). Santri belajar bukan hanya dari what (apa yang dikatakan), tetapi dari how (bagaimana kiai bersikap) dalam keheningan yang penuh wibawa. Keheningan di sini menjadi kekuatan (power) yang mendidik.
Dengan menggunakan kacamata Silence Learning yang diajukan Dat Bao, kita dapat menarik simpulan bahwa tradisi “duduk sopan” di hadapan kiai atau bahkan gerakan merangkak (ngesot) yang disorot media, bukanlah penindasan atau feodalisme.
Perilaku tersebut adalah manifestasi fisik dari Silence yang berfungsi sebagai jembatan untuk takzim, suatu prasyarat fundamental dalam adab mencari ilmu di pesantren.
Oleh karena itu, menghakimi kultur ini dengan bingkai kesetaraan tanpa batas, radikal dan mentah, berarti kita telah mengabaikan kerangka berpikir saintifik yang mengakui adanya metode pembelajaran yang mendalam dan sunyi.