Catatan dari Lomba Karya Tulis “Ekologi Kaum Santri”

277 kali dibaca

Saya, dan juga para Dewan Juri, cukup dibuat terkejut oleh hasil penjurian Lomba Karya Tulis “Ekologi Kaum Santri” untuk bidang penulisan artikel atau opini. Yang membuat kami terkejut adalah siapa penulis artikel yang memenangi lomba ini.

Pemenang lomba penulisan tersebut telah diumumkan pada Malam Apresiasi Budaya 5th jejaring duniasantri, Sabtu (17/8/2024). Yang ditetapkan sebagai Juara 1 naskah berjudul “Hijaukan Pesantren, Hijaukan Negeri: Ekologi Kaum Santri di Era Modern”. Disusul naskah berjudul “Kiai Khariri Abdul Adhim, Sufi Pecinta Lingkungan Kebanggaan Ma’had Aly Situbondo” dan “Kolaborasi Pesantren dan Masyarakat dalam Peningkatan Kualitas Lingkungan Hijau” untuk Juara 2 dan Juara 3.

Advertisements

Inilah yang membuat kami terkejut: peraih Juara 1 adalah seorang siswa kelas 12 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Mantiyah Bekasi, Jawa Barat. Muhammad Zainudin Akbar, namanya. Sebelia itu, karyanya mampu bersaing dengan karya para mahasantri atau mahasiswa atau penulis yang, saya tahu, tulisannya sudah sering dimuat di sejumlah media.

Sampai beberapa waktu usai keputusan diambil, Dewan Juri memang belum tahu latar belakang pemilik naskah. Sebab, yang diserahkan kepada Dewan Juri hanya naskah dan nama penulisnya. Biodata para peserta tak disertakan. Ini untuk menghindari Dewan Juri “terobsesi” dengan latar belakang.

Setelah Dewan Juri menentukan hasilnya, untuk kepentingan publikasi, barulah saya melengkapinya dengan biodata para pemenang yang ada di dasboard web duniasantri.co. Dan semua terkejut, tak menyangka, jika naskah yang ditetapkan sebagai Juara 1 ditulis oleh siswa kelas 12 SMK.

Saya sendiri, secara pribadi, kepo –untuk menghindari istilah ragu atau curiga. Maka saya meminta tolong seorang teman untuk melakukan tracing atau penelusuran jejak-jejak digitalnya, termasuk sekolah tempat dia belajar. Hasilnya malah mencengangkan. Ia memiliki banyak sertifikasi kompetensi di banyak bidang, terutama yang berkaitan dengan teknologi informasi.

“Memang bisa, ada, anak kelas 12 sudah sehebat itu?” tanya saya penasaran.

“Bisa jadi bro,” jawab teman saya.

Dan itulah hasilnya. Dewan Juri sudah memutuskan.

Catatan Pinggir

Di luar hasil penjurian, di luar soal pemenang dan bukan pemenang, saya surprised sehabis membaca seluruh naskah peserta. Jumlahnya 58 naskah. Ada beberapa hal yang membuat saya surprised.

Pertama, ada benang merah yang menguatkan bahwa dunia santri, pesantren, memiliki tradisi yang kuat dalam hal ekologi. Hal itu tergambar mulai dari dalil-dalil hingga praktik-praktik laku ekologis oleh para kiai, santri, dan pesantren yang banyak dikutip dalam naskah. Betapa kaya ragam laku ekologis kaum santri selama ini.

Kedua, di luar segelintir yang tak memenuhi syarat untuk dikurasi, kualitas naskah-naskah peserta sesungguhnya nyaris setara belaka. Malah ada beberapa naskah yang beda skornya sangat-sangat tipis. Tidak ada yang sangat jomplang secara kualitas.

Tapi Dewan Juri harus mengukurnya melalui variabel-variabel yang relevan dengan tema lomba. Dalam kasus ini, ada empat aspek yang dinilai oleh Dewan Juri, yaitu struktur penulisan, orisinalitas/kebaruan gagasan, kebahasaan, dan tingkat aplikabilitasnya.

Bisa jadi ada naskah yang struktur penulisan dan kebahasaannya bagus, skornya tinggi, namun gagasannya tidak orisinil atau tidak mengandung kebaruan dan tidak aplikatif sehingga skornya rendah. Atau sebaliknya. Skor pada masing-masing aspek itulah yang kemudian dijumlahkan. Dan peraih skor terbanyak ditetapkan sebagai pemenang. Dan kita sudah tahu hasilnya.

Bagi saya pribadi, meskipun belum optimal benar proses dan output-nya, lomba-lomba karya tulis seperti ini memang harus ditradisikan. Khasanah pemikiran dan pengetahuan kaum santri harus terus digali agar semakin mewarnai Bumi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan