Catatan dari Workshop Penulisan di Tebuireng

Workshop Penulisan Kreatif dan Jurnalistik yang dilaksanakan jejaring duniasantri (JDS) di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, memang telah berlalu. Namun, bukan berarti hal ikhwalnya benar-benat telah berakhir. Sebab, setiap peserta dibebani untuk membuat karya tulis berdasarkan penugasan materi workshop yang meliputi penulisan opini, cerpen/puisi, dan etnografi sastra —kecuali bidang jurnalistik. Dan, baru pertengahan September ini, seluruh tugas karya tulis tersebut terkumpul untuk dikurasi.

Seperti diketahui, workshop tersebut dilaksanakan selama dua hari, Kamis dan Jumat, 21-22 Agustus 2025. Pada hari pertama, ada tiga materi dengan tiga narasumber. Materi penulisan opini/esai diberikan oleh Redaktur Kompas Hilmi Faiq, penulisan fiksi oleh sastrawan Mahwi Air Tawar, dan etnografi sastra oleh sastrawan Raedu Basa. Sementara, pada hari kedua, materinya bidang jurnalistik. Untuk pengelolaan media online, pematerinya redaktur Tebuireng Online Rara Zarary dan materi penulisan jurnalistik diberikan oleh Mukhlisin dari jejaring duniasantri.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Tugas dari peserta yang terkumpul mencapai 37 naskah, meliputi 23 opini atau esai, 9 puisi, dan 5 cerpen. Saya telah membaca seluruh naskah. Berdasarkan standar kurasi redaksi duniasantri, yang memenuhi kriteria untuk dimuat ada 5 naskah opini, 2 cerpen, dan 2 puisi. Yang memenuhi syarat tersebut secara bertahap akan dirilis di laman www.duniasantri.co. Sisanya dianggap belum memenuhi syarat dengan beberapa catatan.

Tentu saja, catatan-catatannya bersifat umum yang didasarkan dari hasil pembacaan terhadap seluruh naskah tersebut. Catatan pertama adalah soal bahasa. Ini meliputi dari hal paling elementer, seperti penulisan ejaan, pemilihan diksi, penulisan kata ubahan atau frasa, penyusunan kalimat, hingga gaya bahasa.

Sebagai gambaran, hampir pada semua naskah, banyak ejaan tak baku digunakan atau kesalahan penulisan, pengunaan kata atau diksi yang berulang(-ulang) alias repetisi yang membosankan, dan penyusunan kalimat yang tak sesuai dengan tata bahasa yang seharusnya dan karena itu sulit dimengerti. Selain itu, banyak penulis yang tidak bisa membedakan antara bahasa percakapan (oral) dengan bahasa tulis. Seperti ada tak bedanya antara menulis untuk rubrik opini di media dengan menulis ha-ha-hi-hi untuk media sosial (medsos) atau grup-grup percakapan.

Contoh kata dan kalinmat berulang.

Tentu saja, catatan yang pertama ini akan menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi seorang penulis. Jika ingin menjadi penulis yang menulis dalam bahasa Indonesia, maka suka tidak suka kita harus menguasai bahasa Indonesia. Bahasa itu alat. Jika tak menguasai alatnya, kita akan bisa menjadi penulis yang baik. Karena itu, ada baiknya, kita terus mendalami untuk makin menguasai ilmu bahasa Indonesia. Itulah bekal awal untuk menjadi penulis yang menulis dalam bahasa Indonesia. Catatan pertama berlaku untuk penulisan esai, cerpen, maupun puisi —catatan berikutnya lebih untuk penulisan esai/opini.

Catatan yang kedua berkaitan dengan pemilihan tema/topik/sudut pandang. Pada umumnya, tema atau topik suatu tulisan di antaranya haruslah aktual, relevan, menarik, dan penting bagi dan di mata publik. Atau, setidaknya ada tawaran sudut pandang baru dari tema atau topik yang sudah berlalu. Sayangnya, hanya sebagian kecil dari 37 karya peserta workshop yang memenuhi kriteria tersebut. Ini memang menjadi tantangan bagi penulis pemula. Karena itu, setiap penulis memang harus banyak-banyak “berpiknik” literasi.

Catatan ketiga harus menjadi perhatian serius. Berdasarkan pengalaman pengelolaan laman www.duniasantri.co selama enam tahun ini, masalah utama dalam penulisan dari kalangan santri adalah lemahnya data. Kebanyakan tulisan tidak didukung data yang cukup atau kuat atau setidaknya pengamatan terhadap fenomena yang terjadi. Bahkan, data elementer pun seringkali terabaikan. Misalnya, ketika ada tulisan yang mengangkat peristiwa balita mati diserang cacing. Tempat kejadiannya hanya ditulis “Sukabumi”. Tanpa disebutkan wilayah administratifnya, kota atau kabupaten, juga nama provinsinya. Ini sepele, tapi bisa berakibat fatal. Karena tempat yang diberi nama Sukabumi banyak. Tanpa dukungan data atau pengamatan atas fenomena yang cukup, tulisan kita tak memiliki pijakan kuat. Karena itu, penting bagi setiap penulis untuk membiasakan diri bergelut dengan data, teliti mengamati fenomena.

Salah satu caranya, tiap mengangkat suatu isu atau topik, kita harus melakukan riset, meskipun dengan cara sederhana, untuk menemukan datanya yang akurat atau memadai, atau melakukan pengamatan atas fenomenanya. Dari data yang tersedia itulah, atau fenomena yang teramati, kita kemudian bisa melakukan analisa, tentu saja dengan teori yang relevan. Dengan begitu, tulisan kita akan mampu memberikan “sesuatu”.

Itulah beberapa catatan yang bersifat umum untuk membuat karya tulis yang lebih baik lagi. Selalu mencoba dan terus mencoba menjadi kunci penting, yang dalam bahasa santri istikamah. Jangan sekali menulis hasilnya buruk lalu frustrasi. Jangan seperti potongan sajaknya Chairil Anwar “sekali berarti sesudah itu mati”.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan