Juni 2025 lalu, sastrawan Arie F Batubara menerbitkan buku kumpulan cerpen Suatu Masa di Suatu Tempat. Meskipun baru terbit, cerpen-cerpen tersebut ternyata ditulis pada era 1990-2000-an. Praktis, buku ini layaknya mozaik kenangan yang menyatukan masa lalu dan masa kini, melalui benang merah dari Orde Baru hingga masa Reformasi.
Buku itulah yang didiskusikan oleh Komunitas Semaan Puisi di Al-Zastrouw Library Taman Serua, Depok, Jawa Barat, Sabtu (4/10/2025) sore. Diskusi buku ini menjadi bagian dari rangkaian kegiatan Semaan Puisi dan Haul Sastrawan 2025 yang puncaknya akan digelar pada 28 Oktober 2025.

Acara yang digagas Semaan Puisi dan Karang Taruna RW 08 Serua ini juga didukung Kementerian Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan.
Diskusi yang berlangsung pukul 16.00 hingga 18.00 WIB ini menampilkan Dedy Tri Riyadi sebagai narasumber dan Beni Satria sebagai moderator. Keduanya memimpin pembahasan yang hidup dan reflektif mengenai buku karya Arie F Batubara tersebut.
Dalam pembahasan terungkap, Suatu Masa di Suatu Tempat seakan menjadi jembatan memori Orde Baru dan Reformasi karena memuat cerita-cerita yang lahir dari masa transisi antara Orde Baru dan Reformasi.
Dalam buku kumpulan cerpen tersebut, Arie F Batubara yang kelahiran Sumatera, menggambarkan sebuah periode di mana ketegangan sosial bertemu dengan harapan baru. Dari sana lahirlah kisah-kisah manusia biasa —mulai dari guru, petani, ibu rumah tangga, hingga pemuda kampung— dalam pusaran perubahan besar.
Cerpen-cerpennya tidak hanya berkisah tentang cinta dan kehilangan, tetapi juga tentang keteguhan manusia dalam menghadapi sejarah yang tidak selalu berpihak.
Naskah-naskah untuk buku ini memiliki proses kelahiran yang unik; bukan hasil seleksi karya terbaik, melainkan naskah-naskah yang ditemukan kembali di arsip pribadi penulis. Hal ini menjadikan buku ini layaknya mozaik kenangan yang menyatukan masa lalu dan masa kini.
Dalam diskusinya, Dedy Tri Riyadi menyoroti kejujuran Arie F Batubara dalam menulis. Setiap cerita menjadi potret manusia yang terjebak di antara cinta, sejarah, dan keadaan. Tema besar yang diangkat berkisar pada hubungan manusia dengan sejarah-politik, budaya-identitas, dan relasi pribadi.
Kekuatan karya Arie terletak pada bahasa yang sederhana, namun efektif menggerakkan perasaan tanpa metafora rumit. Pembaca diajak menatap wajah Indonesia dari balik jendela rumah-rumah kecil atau lorong-lorong kota yang sunyi.
Diskusi ini pun menjadi ruang bagi peserta untuk membandingkan kisah masa lalu dalam buku dengan realitas hari ini. Mereka menemukan bahwa kegelisahan manusia Indonesia belum banyak berubah. Isu ketimpangan sosial, krisis identitas, dan kecemasan masa depan masih hadir dalam bentuk baru, terutama di tengah era digital dan krisis ekologis yang makin nyata. Cerita-cerita Arie dinilai tetap hidup, menegaskan bahwa waktu boleh berganti, tetapi luka dan harapan manusia tetap sama.
Rangkaian diskusi buku ini bertujuan menghidupkan kembali semangat berpikir di tengah kehidupan yang serba cepat. Adapun, Haul Sastrawan yang akan menjadi puncak rangkaian kegiatan pada 28 Oktober 2025 di Makara UI (Universitas Indonesia).
Dalam acara puncak tersebut, sastrawan, penyair, budayawan, musisi, dan peserta semaan puisi akan berkumpul untuk menampilkan refleksi mereka dalam bentuk pembacaan puisi, musik, dan dialog kebudayaan. Kegiatan ini diharapkan dapat terus menyalakan semangat literasi dan memperkuat hubungan antargenerasi dalam dunia sastra Indonesia.
Laporan Thariq Aziz dan Kayla Nareswari, Karang Taruna RW 08, Taman Serua.