Cerita pendek (cerpen) yang ditulis kalangan santri dan berlatar cerita-cerita kesantrian dinilai sangat menjanjikan, dan di masa depan bisa memberi warna tersendiri bagi dunia sastra Indonesia. Namun begitu, masih diperlukan kesungguhan, ikhtiar, latihan yang terus-menerus dari kalangan santri untuk menggali potensinya.
Hal itu terungkap dalam webinar Workshop Penulisan Cerpen yang diselenggarakan jejaring duniasantri sebagai pengelola situs web www.duniasantri.co pada Minggu (18//2021). Dalam workshop ini tampil sebagai pembicara adalah Putu Fajar Arcana dan Mohammad Hilmi Faiq, keduanya sastrawan yang juga redakdur Harian Kompas.
Workshop ini diikuti sekitar 50 santri/mahasantri/alumni dari berbagai pondok pesantren di Indonesia yang selama ini menjadi kontributor/penulis di www.duniasantri.co.
Putu Fajar Arcana.
Workshop yang dimoderatori Alfian S Siagian ini dibuka oleh Ketua Dewan Pembina jejaring duniasantri Ngatawi Al-Zastrouw. Dalam sambutannya, budayawan nahdliyin ini menegaskan bahwa dunia sastra atau kesusastraan merupakan jalan sunyi yang saat ini tak banyak dilirik orang.
“Tapi penting bahwa harus tetap ada yang memilih jalan sunyi ini karena diperlukan untuk keajekan peradaban manusia,” ujarnya. Karena itu, ia mengaku sangat gembira banyak santri yang menekuni dunia sastra, yang terlihat dari antusiasme santri mengikuti Workshop Penulisan Cerpen ini. “Apa yang kita lakukan ini bagus untuk masa depan bersama,” tegasnya.
Sementara itu, sebagai pembicara pertama, Putu Fajar Arcana mengaku sudah membaca beberapa cerpen yang telah dimuat di www.duniasantri.co. Dari pembacaannya, ia menyampaikan beberapa cacatan. Pertama, dari sisi materi cerita, karya para santri tersebut banyak yang bagus, sangat menarik bahkan. Tema-tema yang diangkat telah mewakili tradisi hidup yang ada di pesantren.
“Ini kalau terus ditekuni, dikembangkan, cerpen-cerpen santri ini sangat menjanjikan dan bisa mewarnai dunia sastra kita,” katanya.
Namun, Putu Fajar kemudian memberikan catatan berikutnya, bahwa dari segi penceritaan memang banyak yang masih lemah. Terutama, menurutnya, dalam membangun plot atau struktur cerita. “Sehingga, saya sendiri harus membaca berulang-ulang untuk bisa mengerti apa sebenarnya yang mau diceritakan,” paparnya.
Putu Fajar kemudian memberikan kunci bagaimana menulis cerita. Salah satunya dengan meminjam metode penulisan jurnalistik, yaitu apa yang dikenal dengan “5W+1H”. “Ini cara mudah untuk menulis cerita, yaitu dengan meminjam metode jurnalistik,” katanya.
Metode penulisan jurnalistik yang dimaksud adalah what, who, where, when, why, dan how. What berkaitan dengan apa yang menarik untuk ditulis; who berkaitan siapa yang layak ditokohkan dalam cerita; where berhubungan penempatan posisi penulis cerita yang menentukan sudut pandang; when berhubungan dengan waktu atau setting cerita; why berhubungan pengembangan penceritaan; dan how berhubunan bangunan cerita.
Menurut Putu Fajar, prinsip “5W+1H” dapat dipinjam untuk dijadikan kerangka dasar sebuah cerita yang akan ditulis. Selanjutnya, bagi penulis pemula, tinggal berlatih terus-menerus untuk mengasah keterampilan teknis. “Perlu kesungguhan, kesabaran, dan waktu yang cukup untuk memiliki keterampilan teknis menulis cerita yang baik,” katanya.
Sementara itu, Mohammad Hilmi Faiq menambahkan, yang tak kalah penting untuk diperhatikan dalam menulis cerpen yang baik adalah bagaimana membuat tulisan pembuka semenarik mungkin, memberikan tensi pada penceritaan, serta membuat ending cerita yang menarik. “Kalau bangunan ceritanya datar, lempeng-lempeng saja, ya tak ada menariknya,” katanya.
Dari pembacaannya terhadap cerpen-cerpen karya santri, menurutnya, masalah itulah di antara kelemahan yang paling kentara. Ia mengingatkan bahwa pada prinsipnya menulis cerita itu bukan telling, melainkan showing. Bukan menuturi, melainkan menyuguhkan cerita. Nilai dan pesan-pesan apa yang ingin disampaikan penulis ditunjukkan melalui cerita. “Bukan dengan khutbah,” tandasnya.
Sama dengan Putu Fajar, Hilmi Faiq melihat di lingkungan pesantren sangat melimpah bahan-bahan dan sumber-sumber cerita yang jika ditekuni oleh penulis-penulis dari kalangan santri akan sangat memperkaya khazanah kesastraan Indonesia. “Kuncinya harus serius dan tekun,” tandasnya.