Terletak di Desa Jambudipa, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Daarul Falah dikenal sebagai salah satu pondok pesantren tertua di Jawa Barat yang telah melahirkan banyak ulama dan tokoh besar di negeri ini. Hingga kini masih eksis dan terus melahirkan generasi santari yang mumpuni.
Pondok Pesantren Darul Falah berdiri sejak 1840. Sudah hampir dua abad, atau tepatnya 181 tahun usia Pesantren Darul Falah. Sebelum berdiri pesantren ini, Desa Jambudipa masih belum tersentuh dakwah Islam. Jangan pesantren atau masjsid, musala pun belum ada di desa ini.
Saat itulah datang KH Muhammad Kholil, seorang ulama asal daerah Sambong, Kabupaten Tasikmalaya, atau lebih dikenal dengan Baing Sambong. Kedatangan KH Muhammad Kholil memang diniati untuk mendakwahkan syiar Islam di daerah tersebut. Maka, KH Muhammad Kholil merintis perjuangannya dengan membangun sebuah masjid. Kelak, masjid ini berada tepat di tengah-tengah komplek Pondok Pesantren Daarul Falah yang dihuni banyak santri dari berbagai daerah di Nusantara. Yang pasti, kehadiran KH Muhammad Kholil telah membawa banyak perubahan bagi masyarakat Jambudipa.
Setelah membangun masjid, KH Muhammad Kholil mengundang masyarakat setempat untuk belajar agama kepadanya. Rupanya, kehadiran KH Muhammad Kholil diterima sepenuh hati oleh masyarakat setempat. Tidak membutuhkan waktu lama, santri pun berdatangan dan makin hari bertambah banyak. Bahkan, tak sedikit yang berasal luar daerah, bahkan berasal dari luar Kota.
Ketika jumlah santri mulai banyak, maka dibangunlah bilik-bilik kamar untuk santri mukim. Saat itu, dibangun satu asrama yang diberi nama Pondok Santosa yang bisa menampung sekitar 100 santri. Saat itu, belum digunakan nama Pesantren Daarul Falah.
Namun, pada tahun 1917, KH Muhammad Kholil alias Baing Sambong wafat. Sejak itu, kepemimpinan pondok pesantren pun dilanjutkan oleh menantunya yang bernama KH Aa Fachrudin bin KH Zakaria yang berasal dari Kampung Songgom, bagian utara Kecamatan Warungkondang.
Pada masa ini, pengajaran dikembangkan dengan pelajaraan kitab-kitab salaf, dengan kajian ilmu nahu dan saraf, fikih, tafsir, tasawuf, dan lain-lain. Lalu, pada 1935 dibentuk majlis taklim sebagai sarana pengajian rutin masyarakat. Dengan adanya majlis taklim tersebut, ada program pengajian khusus bagi masyarakat umum.
Pada 1965, KH Aa Fachrudin wafat dan tampuk kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh putra tertua yang bernama KH Endang Muhyidin, yang biasa disapa dengan nama Aang Endang. Pada masa ini pesantren berkembang pesat. Berbekal pengalaman belajar ilmu agama dari pondok pesantren di tanah Jawa dan juga Makkah (saat menunaikan ibadah haji), Aang Endang memperluas kajian keagamaan yang diajarkan kepada santrinya.
Semakin lama, jumlah santri makin banyak. Untuk menampung santri yang semakin banyak itulah, maka dibangun pula tiga asrama baru yang masing-masing diberi nama Pondok Pusaka, Pondok Sabar, dan Pondok Kombinasi. Pada 1978, masing-masing dilebur menjadi satu gedung dan diberi nama Asrama Daarul Falah.
Pada masa pesantren diasuh oleh Aang Endang, banyak ajengan (sebutan untuk kiai/ahli agama di tanah Sunda) yang belajar mengaji kembali dengan Aang Endang. Bahkan banyak dari mereka yang sudah memiliki pondok pesantren sendiri. Mereka merelakan waktunya, meninggalkan keluarga dan santrinya, untuk mengaji kembali kitab-kitab yang sudah dipelajari sebelumnya ketika masih di pondok pesantren.
Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin RA adalah salah satu santri Pondok Pesantren Daarul Falah pada masa kepemimpinan KH AA Fachrudin ini. Beliau merupakan pemimpin Thariqoh Qadariyah Naqhshabandiyah (TQN), sekaligus pimpinan Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya. Buah hasil kesabaran dan keikhlasan KH Aa Fachrudin mampu menjadikan salah satu santrinya menjadi ulama besar yang berpengaruh dan dikenal banyak orang.
Tak berbeda dengan orang tua dan para pendahulunya, Aang Endang pun menjadi salah seorang ulama yang berpengaruh pada masanya, bukan hanya anak-anak santri, bahkan banyak pula kiai yang belajar agama dengannya. Tidak hanya berasal dari kalangan pondok pesantren, banyak pelawat yang berdatangan dari kalangan elite pemerintah, pengusaha, militer, dan masih banyak lagi, untuk ber-tabarruk atau dengan istilah lain “ngalap berkah” kepadanya, melalui doa-doa yang dipanjatkan olehnya.
Di antara contohnya adalah Jenderal Besar TNI H M Soeharto, Presiden kedua Indonesia, sudah beberapa kali datang ke Pondok Pesantren Daarul Falah. Di tengah kesibukannya sebagai orang nomor satu di Indonesia saat itu, Pak Harto menyempatkan waktunya untuk sekadar bersilaturahim dengan Aang Endang dan meminta doa kepadanya. Ada banyak keterangan yang menyebutkan bahwa Presiden Soeharto menjadikan Aang Endang sebagai guru spiritualnya. Dalam beberapa kesempatan, Aang Endang pernah diundang untuk mengunjungi Istana Merdeka di Ibu Kota.