Dari Ngaji Tafsir ke Gerobak Sampah: Potret Ekoteologi Santri Yasinat

Kehidupan di pondok pesantren juga menjadi pembicaraan hangat di setiap percakapan warung kopi. Klaim feodalisme santer dilekatkan pada santri yang mencari berkah dari kiainya, misalnya. Padahal itu sungguh salah kaprah.

Pendidikan pesantren bukan corak produksi ekonomi, yang relasinya untung-rugi dan tawar menawar. Santri dididik untuk menjadi pribadi yang kokoh spiritual dan peka terhadap lingkungan. Lihat saja, tradisi ro’an yang membentuk jiwa solidaritas dan sikap reaktif santri pada kebersihan pesantren.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Santri yang dikenal kaum sarungan kesehariannya tak lepas dari aktivitas mengaji kitab kuning dan tafsir Al-Qur’an. Kalangan ini terkesan dipenjara dengan pagar bertembok beton. Jauh dari alat elektronik. Makan di wadah nampan. Paling mentok, hiburannya bermain sepak bola, itupun kalau tidak sedang terkena ta’zir.

Namun, ada sisi lain yang mungkin tidak disorot oleh masyarakat, yaitu soal aktivitas kebersihan santri. Realitas inilah yang persis yang dilakukan santri Pondok Pesantrem Yasinat, Kesilir, Wuluhan, Jember, Jawa Timur.

Para santri di Pesantren Yasinat belajar ilmu agama salah satunya tafsir Al-Qur’an, agar dapat menerapkan di kehidupan nyata. Misalnya, santri Yasinat saat setelah maghrib mengaji Tafsir Ibriz. Di sana, ayat Al-Qur’an yang ditafsiri termasuk ayat tentang bagaimana menjaga lingkungan.

Tafsir tidak dipahami tekstual, tapi diadopsi menjadi perilaku rutinitas santri. Terlebih soal kebersihan pesantren. Pengasuh pesantren hingga mengingatkannya dengan dawuh: “Resikono Panggonanmu, Kanthi Niat Ngresiki Atimu”. Kalimat yang singkat dan jelas berdampak.

Piket sebagai Amal Ekologis

Rutinitas kebersihan santri Yasinat dibuat piket layaknya ronda di perumahan. Dijalankan secara bergilir saat pagi dan sore hari. Hanya, bedanya, kalau ronda menjaga keamanan saat malam, sedangkan piket menjaga kebersihan pesantren. Setiap sampah yang dipungut akan bernilai ibadah, manakala tidak dicampuri niat pencitraan. Sebab, adakalanya santri yang semangat piket hanya demi ingin melirik paras anggun santriwati.

Meskipun membersihkan sampah merupakan aktivitas kotor, namun manfaatnya bagi lingkungan sangat penting. Sehari saja tidak dibersihkan, sampah akan menumpuk bagaikan gumuk. Apalagi seminggu, apa tidak sudah jadi gunung. Piket kebersihan selain karena tuntutan jadwal piket, bagi santri bisa jadi amal ekologis. Itulah kenapa pengasuh selalu dawuh: Segala aktivitas niatkan ibadah.”

Gerobak Sampah: Kendaraan Ibadah 

Setiap tinta yang digoreskan saat mengaji tafsir Al-Qur’an menjadi benih yang tumbuh pada perilaku santri Yasinat. Terutama ayat-ayat lingkungan tidak berhenti di lembaran tafsir. Hubungan santri dengan lingkungan sangat erat. Mereka tahu tanggung jawab beragama bukan saja soal salat, zikir, dan berdakwah. Lingkungan yang bersih juga jadi kewajiban yang tidak boleh ditawar.

Memang secara diskursus, istilah ekoteologi mungkin sama sekali belum didengar di ruang kelas ngaji tafsir santri Yasinat. Boleh jadi hal ini terasa miris. Tetapi, realitanya praktik ekoteologi itu telah berjalan tanpa disadari. Tafsir ayat lingkungan tampak nyata melalui aktivitas saat piket kebersihan pesantren. Seperti tafsir surat Al-A’raf ayat 56; bahwa manusia dilarang merusak bumi, termasuk mengotorinya dengan sampah.

Oleh karena itu, tidak tanggung-tanggung, sampah yang berada di depan asrama santri, diangkut menggunakan gerobak. Saat mengangkut, santri yang piket memastikannya jangan sampai ada sampah tercecer di jalanan sekitar pesantren. Kemudian dibawa ke tempat pembakaran dengan sebelumnya dipilah dulu, mana organik dan anorganik.

Sekalipun ada santri yang ditempatkan untuk mengabdi pada tempat pembakaran, tapi soal kebersihan pesantren tetap menjadi tanggung jawab bersama santri.

Apalagi soal gerobak pengangkut sampah, pasti selalu dicek kondisi daya tahannya, dari roda hingga besi penyangga muatan. Apabila ada ban yang kempes, segera dipompa. Apabila ada rantai yang putus, segera dilas. Beda lagi, apabila gerobaknya sudah dipegang gus atau pengasuh pesantren, maka itu namanya kode keras, agar santri segera membersihkan sampah.

Kadang memang begitu, cukup dengan bahasa isyarat untuk mengatasi rusaknya gerobak dan mandeknya piket kebersihan. Anehnya, hal itu hanya ditemukan di pesantren. Bukan di dalam gedung formal berdinding kaca.

Bagi santri Yasinat, gerobak tidak sekadar alat pengangkut sampah, melainkan kendaraan ibadah untuk tetap terhubung baik dengan lingkungan maupun Sang Pencipta. Tanpa gerobak, sampah tidak akan terangkut dengan bersih. Lingkungan pesantren pun tetap kotor lagi, sehingga mengganggu kenyamanan mengaji dan berzikir. Hubungan dengan Tuhan semakin berjarak.

Padahal adanya lingkungan bukti dari keberadan ayat-ayat Tuhan yang jelas harus dilestarikan dan dijaga. Seakan-akan jadi sia-sia saja, jika belajar tafsir ayat lingkungan, tapi praktiknya nihil. Untung masih kosong atau nol, kalau minus? Yang awalnya percuma, malah jadi utang amal ekologis. Begitulah, pentingnya ngaji tafsir yang sekaligus praktik dengan gerobak sampah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan