*Surat Kepada S.H. Mintardja dan Ir Bambang Ifnurudin Hidayat
Tuan-tuan,

Siang itu, 12 Oktober 2025, kawan saya, Nurkomar, mengabari. Suaranya tergesa, seperti seseorang yang masih membawa debu jalanan dan aroma perubahan cepat kota ini. Ia baru dua hari lalu turun dari perbukitan Imogiri, kini sudah kembali. Begitulah Pak Nur: langkahnya selalu lebih cepat daripada alur ceritanya sendiri—selalu bergerak, seolah mengejar waktu yang terus melaju. Ketika ia bilang punya “misi penting,” saya tahu itu adalah metafora.
Misi itu, bagi saya, adalah kegelisahan abadi yang sama: mencari martabat, menemukan sandaran filosofis, di tengah riuhnya Yogyakarta. Kota ini hari ini tak hanya disesaki gema gamelan yang sendu dan kenangan Malioboro yang romantis, tetapi juga deru pembangunan infrastruktur besar yang mengubah wajah pinggiran. Ini adalah krisis moral di mana nilai-nilai lama terancam hanyut oleh air bah komersialisasi. Kita hidup di masa ketika janji ekonomi digembar-gemborkan, namun kedaulatan atas lahan rakyat justru digadaikan. Saya hanya mengangguk. Protokol persahabatan kami sederhana: menyambut, menemani, dan mencari tahu apa yang sesungguhnya penting di balik kata-kata bombastis itu.
Sambil menunggu kabar dari pertemuannya, saya mencari-cari hal yang “sangat penting,” dan menemukannya di Sentolo, Kulon Progo: Pesantren Properti Indonesia—sebuah sintesis yang terasa brutal antara spiritualitas yang mendalam dan bisnis material. Nama ini saja sudah mencuri perhatian, karena ia berani menautkan dua dunia yang selama ini dianggap saling tolak: kesucian pesantren yang terkesan ‘sederhana’ dan kekotoran pasar properti yang serba licin dan spekulatif. Ini adalah sebuah deklarasi perang kultural secara halus.
Saat kabar dari Pak Nur masuk, saya segera mengajaknya. “Pertemuan sudah selesai?” tanyanya. “Sudah. Alhamdulillah.” “Kalau begitu ikut saya,” ajak saya. “Kita bertemu orang penting. Sangat penting. Lebih penting dari Pak Nur duga.” Ia tertawa kecil—antara bingung, pasrah, dan penasaran—kemudian mengangguk.

Dari Fiksi ke Kedaulatan Tanah
Perjalanan kami mengarah ke Sentolo, sebuah wilayah yang dulu dikenal sebagai pusat Tanah Perdikan Menoreh. Sepanjang jalan, mata saya selalu tersangkut pada Sungai Progo. Ia menua tanpa kehilangan wibawa. Airnya mungkin tak sejernih dulu, membawa endapan modernisasi dan erosi, tetapi alirannya membawa gema ratusan tahun sejarah, seolah menjadi saksi bisu atas segala perubahan yang terjadi di tepiannya. Progo adalah penanda: ia adalah garis demarkasi abadi antara yang abadi dan yang sementara.
Tuan S.H. Mintardja, kau adalah penulis fiksi yang paling jujur tentang tanah. Kau abadikan Progo bukan hanya sebagai latar, tetapi sebagai ruang rohani bagi Ki Ageng Sedayu, prajurit lincah dan teduh dalam kisah Api di Bukit Menoreh. Di tepi sungai itu, para tokohmu bertafakur, berlatih, dan menguji ulang keberanian mereka. Kisahmu bukan sekadar dongeng silat, ia adalah manual menjaga kedaulatan. Ia mengajarkan kita bahwa kekuasaan sejati tidak terletak pada takhta, melainkan pada kemandirian teritorial.
Progo hari ini berdiri di persimpangan. Masa kini ditandai dengan pembangunan bandara internasional dan kawasan industri—janji masa depan yang cerah, tentu saja, namun juga ancaman nyata atas nasib petani dan martabat leluhur yang terikat pada sejengkal sawah. Di zaman yang segala-galanya dijual ini, di mana setiap jengkal ruang diberi label harga, martabat tanah diukur dari nilai jualnya, bukan dari keringat petani yang menanaminya.
Di sinilah kami teringat dialog yang kau tulis: ketika hendak ditarik ke lingkungan Keraton Mataram, Ki Ageng Sedayu menjawab penuh wibawa, “Biarlah kami-kami menjaga dan merawat tanah perdikan kami.” Frasa ini, Tuan Mintardja, bukan hanya dialog, melainkan sebuah pernyataan politik dan budaya: kedaulatan atas tanah tidak bisa ditukar dengan kemewahan kekuasaan. Ini adalah protes abadi terhadap sentralisasi dan kompromi.
Progo adalah jembatan antara fiksi yang kau ciptakan dan realita yang kami hadapi. Ia adalah nadi kehidupan, yang kini perlu dijaga tidak hanya dengan pedang Ki Ageng Sedayu, tetapi dengan kedaulatan ekonomi. Angka-angka statistik mungkin naik turun, tetapi martabat leluhur tidak pernah tunduk pada hitungan materi. Kami butuh pendekar baru, yang tidak hanya pintar bertarung di lembah, tetapi juga piawai dalam negosiasi di meja transaksi.
Tanpa terasa, mobil kami memasuki Desa Sentolo. Hujan baru saja usai. Aroma tanah dan pepohonan basah menyeruak, memberikan ketenangan yang kontras di tengah hiruk pikuk modernisasi. Di halaman Pesantren Properti, para santri baru selesai menunaikan salat ashar. Langkah mereka rapi, tenang, dan penuh ketertiban. Tempat ini, seperti yang saya duga, adalah sebuah gagasan besar.
Ir Bambang: Menjaga Martabat
Di sinilah peran Tuan Ir Bambang Ifnurudin Hidayat. Kau tidak membela tanah dengan keris, tetapi dengan sertifikat properti dan ilmu akhlak. Kau adalah seorang insinyur yang mengambil pelajaran paling berharga dari Ki Ageng Sedayu: tanah adalah pusaka, dan ia harus dipertahankan. Kau menyadari bahwa di era ini, tanah paling sering hilang bukan karena invasi militer, melainkan karena kebodohan ekonomi.
Tuan Bambang, kau mendirikan Pesantren Properti bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi sebuah gerakan untuk mengembalikan keyakinan bahwa tanah air harus kembali digenggam oleh anak bangsanya sendiri. Kau menarik properti, yang selama ini arena eksklusif kaum necis, menjadi sarana dakwah, menjaga martabat, dan membangun kemandirian. Ini adalah upaya mulia untuk mensucikan ‘kekotoran pasar’ dengan etika keagamaan.
Filosofi Jawa yang kau pegang teguh—“Sakdumuk bathuk senyari bumi dibelani tekaning pati”—tidak kau biarkan menjadi pepatah usang di dinding. Kehormatan dan sejengkal tanah akan dibela sampai mati. Kau menyimpulkan secara radikal: Martabat leluhur tidak bisa dipertahankan hanya dengan doa, tetapi harus dengan kedaulatan ekonomi. Inilah yang kau terjemahkan menjadi kurikulum dan moto yang blak-blakan: “Pintar Ngaji, Jago Properti, Suka Berbagi.”
Kisah Yayasan Pesantren Property Plus Indonesia (YPPP+I) adalah cerita tentang perubahan paradigma. Lembaga ini bermula dari kesadaran Bambang Ifnurudin Hidayat pada tahun 1998, di tengah krisis moneter, bahwa setiap orang berhak memiliki tanah, dan berbisnis properti tidak harus eksklusif bagi yang sudah mapan dan kaya. Ia menemukan kesadaran sederhana namun penting: “Kaya itu bukan saat kita mampu memberi, tapi saat kita mampu berbagi.” Memberi adalah kewajiban yang terstruktur, berbagi adalah filosofi kemanusiaan yang mendalam.
Titik balik penyempurnaan terjadi pada tahun 2013, ketika ilmu properti dipadukan dengan ilmu akhlak dan agama, melahirkan filosofi keseimbangan, sesuai prinsip “Desa mawa cara, negara mawa tata.” Di pesantren ini, aturan desa dan negara dipersatukan dalam etos kerja dan spiritualitas.
Membangun Ekonomi, Menghapus Budaya Meminta
Tuan Bambang memilih fokus membangun ekonomi santri, bukan kesabaran semata. Ini adalah pilihan yang radikal, sebuah deklarasi bahwa kesabaran tanpa daya ekonomi adalah kemiskinan yang dipuisikan. “Dakwah yang berkaitan dengan kesabaran itu sudah banyak. Saya memilih membangun ekonomi santri,” ujar Tuan Bambang. Inti dari pilihan ini adalah sebuah teguran keras terhadap budaya ketergantungan yang sudah mendarah daging: santri tidak boleh diajari meminta.
Tuan Bambang, memiliki pandangan yang keras terhadap budaya ketergantungan. Ia melihat jauh ke depan, ke mentalitas santri setelah lulus. Jika sebuah lembaga didirikan di atas proposal dan donasi abadi, maka mentalitas yang akan ditiru santri adalah mentalitas peminta.
“Mohon maaf, kalau kita membangun pesantren berbasis sumbangan, maka santrinya juga akan melakukan hal yang sama. Kenapa? Karena ia akan meniru gurunya. Mereka jangan diajari meminta.”
Ini adalah tamparan keras bagi lembaga lain yang berdiri di atas belas kasihan, yang secara tidak sadar mencetak generasi peminta, bukan pemberi. Ini adalah harga diri, Tuan-tuan, dan harga diri tidak bisa diukur dengan besaran sumbangan.
Demi menunjang kehidupan santri yang mandiri, Tuan Bambang tidak hanya memberikan ceramah tentang kemandirian, tetapi langsung memfasilitasi dan membiayai mereka untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang produktif. Bukan sekadar teori bisnis, tetapi praktik langsung: membuat konten digital, berjualan makanan, dan menjadi marketing properti. Santri di sini adalah pelaku ekonomi yang aktif. Mereka menghasilkan, bukan hanya menerima.
Bahkan untuk pekerjaan fisik yang dibutuhkan pesantren—seperti mengangkut pasir atau menguruk tanah—ia tawarkan kepada santri dengan bayaran. Cerita ini membekas. “Kadang saya suka menawarkan mereka begini, ‘Saya menguruk tanah. Kalau saya bayar tukang satu juta, kalau kalian mau saya bayar tujuh ratus. Mau tidak?’ Dan mereka mau.”
Ini bukan soal irit, Tuan-tuan, tetapi menanamkan nilai kedaulatan yang paling hakiki: setiap usaha harus menghasilkan penghasilan sendiri, bukan mengharap belas kasihan. Tujuh ratus ribu itu bukan sisa, tapi hasil dari pilihan sadar. Itu adalah harga diri yang dibeli dengan keringat, bukan uang yang dilempar dengan proposal. Mereka diajari menghargai proses, menawar, dan mengambil keputusan ekonomi.
Dari Properti ke Jalan Ilahi
Konsep kaya di Pesantren Properti tidak mesti diukur dari saldo bank semata. Tentu santri harus kaya, karena kemiskinan rentan menjerumuskan pada kekufuran. Tetapi kekayaan yang dimaksud adalah kekayaan dalam makna spiritual dan sosial. Kekayaan adalah fungsi, bukan target.
“Kaya itu berbagi,” tegas Tuan Bambang. Berbagi tentu tidak hanya dengan harta, tetapi juga dalam bentuk silaturahmi, suka menolong orang, dan paling tidak berbagi doa untuk orang lain. Ia meyakini, “Silaturahmi dan tolong menolong itu rumus Gusti Allah, dan berlaku bagi siapapun, tidak mengenal miskin dan kaya harta.” Ini adalah visi Islam yang universal, di mana kekayaan sejati terletak pada kontribusi dan jaringan sosial (silaturahmi), bukan pada akumulasi materi yang beku. Santri didorong menjadi tiang penyangga sosial, bukan beban sosial.
Tujuan Mulia Pulung Properti: Pahala Jariyah: Inilah esensi dari prinsip “Jago Properti, Suka Berbagi, Pintar Ngaji.” Sebaik-baik umat adalah yang suka menolong, bukan yang terbiasa meminta sumbangan. Pulung (anugerah rezeki) properti yang mereka hasilkan diarahkan menjadi pahala jariyah—bekal abadi yang bermanfaat bagi umat dan peradaban. Mereka tidak hanya membangun rumah bagi diri sendiri, tetapi membangun peradaban bagi umatnya, memastikan tanah air tetap digenggam oleh anak bangsa yang beretika.
Tuan Mintardja, fiksi yang kau tulis di masa lalu telah melahirkan spirit penjaga kedaulatan. Tuan Bambang, engkau mewujudkan spirit itu dalam bentuk yang paling realistis di masa kini: properti sebagai alat menjaga martabat.
Sentolo, yang dahulu hanya hidup dalam kisah fiksi sebagai pusat Tanah Perdikan Menoreh, kini benar-benar menjadi laboratorium peradaban nyata. Ia mencetak generasi yang memikul amanah tanah dan umat, bukan sekadar santri bisnis, tetapi penjaga bumi dan martabat hingga akhir zaman, yang mengawal esok hari melalui kearifan yang mengalir dari Kali Progo.
Yogyakarta, 23 November 2025.
