Sudah bukan rahasia lagi dan tidak perlu ditutup-tutupi bahwa sepak terjang santri banyak sekali kontribusinya terhadap negeri ini. Kalau kita mencoba membuka lembaran usang sejarah kemerdekaan Indonesia, maka tidak bisa diabaikan andil orang-orang pesantren baik meliputi kiai, ibu nyai, atau para santri.
Salah satu peristiwa yang tidak bisa dilupakan pikiran dan selalu tersimpan rapi dalam buku sejarah kemerdekaan ini ialah peristiwa Resolusi Jihad tepat pada 21 Oktober 1945 yang diintruksikan Hadratussyekh KH Hasyim As’ary bersama para kiiai se-Jawa Timur pada waktu itu. Para kiai menyuarakan secara lantang dan penuh ketegasan bahwa berperang melawan penjajahan Agresi Militer II Belanda bersama Sekutu salah satunya Inggris yang ingin menduduki kembali Indonesia pasca kekalahan Jepang oleh Sekutu, tepatnya saat terjadinya bom atom di Hirosima dan Nagasaki.
Namun, hal itu bisa diantisipasi oleh kalangan ulama Nusantara lewat barisan kompak Laskar Hizbullah dan seluruh elemen masyarakat, tidak ketinggalan juga para kaum sarungan yang setia akan perintah kiai. Bahkan, mengenai keberadaan kecamuk embrio lahirnya pertempuran besar berdarah menelan ratusan nyawa para pahlawan pada tanggal 10 Oktober 1945 yang kemudian menjadi hari pahlawan nasional.
Martin Van Bruinessen dalam karyanya berjudul NU: Tradisi, Relasi-relasi Pencarian Wacana Baru (1994) mengungkapkan bahwa resolusi jihad itu setidaknya dihadiri oleh wakil-wakil cabang Nahdlatul Ulama yang berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad (perang suci). Dalam arti, fardu ain bagi warga Negara Indonesia utamanya yang punya radius dekat dengan kota Surabaya untuk berperang melawan agresi penjajahan dan bagi siapa yang gugur dalam medan perang termasuk mati berstatus golongan syahidin.
Maka pada saat itu juga, ribuan santri mulai dari Pulau Madura hingga Pulau Jawa berangkat mendatangi kota Surabaya untuk bertempur mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dalam catatan KH Saifuddin Zuhri dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren, disebutkan bahwa hampir bersamaan dengan terjadinya perang dahsyat pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya, rakyat Semarang juga mengadakan perlawanan kepada tentara Sekutu ketika mendarat di kota Semarang.