“Ngaji, Ngabdi, Rabi.” Jargon itu berseliweran di media-media sosial ber-platform santri beberapa saat yang lalu (bahkan hingga kini). Semboyan ini sering dipakai oleh kalangan santri untuk memotivasi diri sendiri atau teman sesama santri dalam rangka menyukseskan proses tolabul ilmi. Bukan isapan jempol, tiga kata ini mengandung falsafah yang tidak bisa diremehkan.
Ngaji atau belajar ilmu agama adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan; seperti yang termaktub dalam hadis yang cukup populer itu. Sedangkan, ngabdi atau berkhidmat pada guru adalah salah satu kunci keberhasilan dalam menuntut ilmu. Dan rabi atau menikah adalah pelengkap dari semuanya. Perjuangan setelah pulang dari pondok dalam rangka nasrul ilmi menjadi lebih ringan jika ditopang oleh biduk rumah tangga yang sehat.
Di sini penulis akan mengulas lebih dalam nilai yang terkandung dalam ngabdi atau khidmat seorang santri pada kiai atau gurunya. Ada sebuah ungkapan yang cukup populer, “al ilmu bit ta’allum, wal barokah bil hidmah,” sesungguhnya ilmu didapat melalui belajar, sedangkan barokah didapat melalui khidmat (selanjutnya disebut ngabdi).
Perlu dipahami bersama bahwa pengabdian seorang santri pada kiainya berbeda dengan pengabdian seorang jongos pada sang juragan. Ini sangat berbeda, mungkin pas dengan maqolah (ucapan) para kiai itu, “kal farqi bainas sama’ was sumur sat” (seperti perbedaan antara langit dan sumur kering).
Pengabdian seorang jongos adalah untuk meraih perkara duniawi, sedangkan pengabdian seorang santri adalah untuk meraih perkara ukhrowi. Padahal, seperti firman Allah dalam surat ad-Dhuha itu, “wal akhirotu khoirul laka minal ula,” akhirat lebih utama bagimu daripada dunia.
Di sini, ngabdi adalah sebuah ekspresi kepatuhan pada seorang guru. Dan nilai kepatuhan ini dihargai cukup mahal di dalam dunia pesantren (baca:agama Islam). Kepatuhan seorang santri merupakan tolok ukur kekuatan iman. Di mana inti dari iman adalah kepatuhan.