Di Bawah Pohon Beringin

70 views

Sudah tiga hari Sanusi sekarat di pembaringan. Semua temannya sepakat jika Sanusi segera diantarkan pulang agar dirawat orang tuanya. Tetapi ia menolak, dengan alasan, ia ingin mati dalam keadaan mencari ilmu.

Namun, nyatanya, Sanusi sehat kembali setelah beberapa hari mengalami hal yang aneh. Ia merasa di dalam alam bawah sadarnya seperti berada di ruang tanpa warna, kecuali putih seperti cahaya yang menghampar di sudut-sudut ruang tersebut. Nyawanya seperti ditarik ulur —

Advertisements

penuh perjuangan.

Ia kembali menyapu halaman pesantren dan menatakan sandal Kiai Suaib.

Setiap hari, ia ditugaskan untuk menimba air di sumur untuk mengisi jamban, pagi dan sore. Selanjutnya, ia menyapu surau yang biasa digunakan untuk tempat mengaji para santri.

Pengabdiannya tak perlu diragukan lagi. Ia tulus mengerjakan semua itu tanpa dibayar. Menurutnya, mengerjakan semua itu sudah menjadi kebahagiaan untuknya. Setiap daun yang jatuh di halaman pesantren, ia sapu sambil membaca selawat.

Halaman pesantren tidak begitu luas. Di depan surau terdapat pohon beringin yang begitu besar dan rindang. Ada kolam kecil di sebelahnya. Kediaman Kiai Suaib tak jauh dari tempat itu, hanya belasan meter dari kolam yang dihuni oleh beberapa ikan. Di sana ada satu rumah panggung yang digunakan santrinya untuk tidur.

Setiap hari, Sanusi membersihkan surau itu sekaligus menyapu halamannya yang setiap harinya dipenuhi oleh daun-daun kering. Daun-daun menumpuk berserakan.

Pohon beringin itu begitu rindang. Cabangnya lebat. Setiap orang yang berada bawahnya akan merasakan semilir angin yang begitu sejuk.

Biasanya para jemaah di surau itu akan duduk sambil mengobrol di tempat itu. Mereka hanya berempat, berumur senja. Mereka hanya menunggu giliran kematian, tidak berharap apa pun kecuali ampunan dan kematian yang baik.

Setiap harinya surau itu menampung mereka dan para santri Kiai Suaib. Santri Kiai Suaib bisa dihitung dengan jari, tak lebih dari sepuluh orang. Tetapi hanya satu orang yang istiqamah membersihkan surau, menyapu halaman yang dipenuhi oleh daun-daun beringin, mengisi jamban, dan menata sandal Kiai Suaib, yaitu Sanusi.

Suatu kali, ia menyapu daun-daun beringin di halaman surau. Tiba-tiba, ia dipanggil oleh suara parau diselingi oleh batuk. Sanusi lalu menghampiri orang tua itu, kemudian duduk di batu besar di sampingnya. Angin berdesir, merontokkan beberapa daun.

“Kau mau kuceritakan tentang pohon ini?” ucap Mbah Surip, salah satu jemaah yang senantiasa mengisi shaf paling depan, persis di belakang Kiai Suaib sebagai imam.

“Pohon beringin ini sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang, bahkan ada yang mengatakan pohon beringin ini sudah ada sejak zaman Belanda dengan ukuran sebesar seperti ini,” ucap Mbah Surip.

Napasnya pendek. Semua rambutnya sudah beruban, guratan-guratan di wajahnya menunjukkan jejak perjalanan panjang yang sudah dilaluinya. Sudah tak memiliki gigi, tetapi ia tetap sehat tanpa keluhan penyakit apa pun.

“Mungkin bahkan di zaman Majapahit pohon itu sudah ada. Makanya, orang-orang anggap pohon ini adalah pohon keramat. Bahkan sering kali di bawah pohon ini, digunakan untuk pembuangan tumbal oleh warga setempat. Sering kali mereka memuja pohon ini sebelum Kiai Suaib mendirikan pesantren ini. Meskipun saat ini ada beberapa orang tertentu yang masih memuja pohon ini. Kiai Suaib pun enggan menebang pohon ini. Kata Kiai Suaib, kalau ditebang maka bencana akan datang,” Mbah Surip bercerita.

“Iya Mbah, saya melihat sendiri orang-orang itu meletakkan sesaji,” timpal Sanusi.

“Iya, tapi kalau sekarang hanya hari-hari tertentu. Biasanya mereka mendatangi pohon ini ketika 10 Suro, atau Jumat legi.”

Sanusi hanya terdiam dan bertanya-tanya dalam pikirannya, mengapa Kiai Suaib tidak menebang pohon beringin itu. Padahal pohon tersebut bisa menjadi sumber dari kemusyrikan.

Setelah mendengar cerita dari Mbah Surip, ia melanjutkan menyampu daun-daun beringin, sambil berselawat dalam hati. Dan, cerita itu menjadi kenyataan dalam benak Sanusi.

Menjelang sore, Sanusi mendengar suara gemeretak ranting, debu beterbangan karena diterpa angin. Sekawanan burung kecil hinggap di pohon itu. Setelah menyapu halaman surau, ia kemudian mengisi jamban di belakang surau menggunakan senggot.

***

Malam harinya, setelah mengaji, Sanusi memberanikan diri untuk menanyakan kepada Kiai Suaib mengapa pohon beringin itu belum juga ditebang. Ia berjalan menuju ke arah kediaman Kiai Suaib. Ia berjalan sambil menyimpan dada yang terus berdebar kencang. Ia memberanikan diri untuk menanyakan soal pohon itu.

Sanusi sudah di depan kediaman Kiai Suaib dan bersiap untuk masuk. Ia dipersilakan untuk masuk ke dalam. Sanusi mengucapkan salam, lalu duduk. Dari rautnya, ia mengalami sedikit kegugupan yang nyata. Untuk mengawali pembicaraan, ia menarik napas panjang, lalu dikeluarkan.

“Ada apa San? Sepertinya ada yang penting,” tanya Kiai Suaib.

Untuk sesaat ia terlihat tampak seperti orang latah. Kemudian ia mencoba menenangkan diri dan mengatakan apa yang sebenarnya mendorong dirinya untuk menghadap Kiai Suaib.

“Eee,,, jadi begini Kiai, apa sebaiknya pohon beringin di depan surau kita tebang saja. Sering kali saya melihat, orang-orang meletakkan sesaji di pohon itu. Apa itu tidak menjadi sumber kemusyrikan?” kata Sanusi.

“Jangan. Biarkan pohon itu hidup. Kita tidak pernah tahu maksud dari orang-orang meletakkan sesaji itu di bawah pohon. Berpikirlah seolah-olah mereka melakukan penghormatan terhadap pohon beringin itu. Terlepas dari itu, pohon itu sangat berguna bagi kita. Setidaknya bisa menyerap air supaya tidak banjir. Pohon itu begitu rindang, sayang sekali kalau ditebang. Setiap helai daun akan berzikir kepada-Nya,” jawab Kiai Suaib.

“Kita sadarkan mereka pelan-pelan,” sambung Kiai Suaib.

Keesokan harinya, Sanusi masih menjumpai orang yang menaruh sesaji di bawah pohon beringin itu. Ada yang menyalakan dupa, ada yang bersemadi, ada yang hanya meletakkan sesaji berupa hasil bumi.

Dulu, pendirian pondok pesantren dan surau ini awalnya mendapat protes dari beberapa warga. Suatu ketika di malam hari ada sebuah semburat cahaya merah meluncur ke kediaman Kiai Suaib. Santri-santri yang melihatnya tertegun dan panik. Mereka langsung menuju ke halaman kediaman Kiai Suaib untuk memastikan apa yang terjadi. Beberapa kemudian, Kiai Suaib bangun dari tidurnya dan menyuruh mereka segera bubar dari tempat itu.

“Tidak ada apa-apa, bubar saja,” perintah Kiai Suaib.

Dalam perjalanan menuju pondokan, mereka masih membicarakan tentang apa yang mereka lihat tadi.

“Cahaya tadi apa ya?”

“Kemungkinan, itu teluh.”

“Tapi siapa yang mengirimkan teluh itu?”

“Mungkin orang-orang yang tidak menghendaki Kiai Suaib mendirikan pesantren ini.”

“Ya, bisa jadi, di kampung ini banyak orang yang menguasai ilmu hitam.”

“Ya sudah, lebih baik kita istirahat, hari sudah malam,” Sanusi mengakhiri pembicaraan.

***

Setelah beberapa hari Sanusi menghadap Kiai Suaib, hujan turun dengan deras disertai angin kencang. Guntur menggelegar menakutkan, seolah-olah langit seperti akan pecah.

Beberapa genteng surau rontok karena angin. Sementara itu, ada suara pohon roboh, suaranya begitu keras. Sanusi bergegas melihatnya, pohon beringin itu roboh. Sebagian dahannya mengenai serambi surau. Penyangga genteng patah, genteng jatuh berserak, sebagian pecah.

Catatan:
Suro : Bulan Asyura
Senggot : Alat untuk menimpa air di dalam sumur

Multi-Page

Tinggalkan Balasan