Gelap malam begitu mencengkam. Jalanan yang sepi tidak membuatku takut untuk terus berjalan pulang. “Aku tak boleh takut, hantu itu gak ada,” kataku berulang kali untuk menghilangkan rasa takut.
Aku memang sudah biasa pulang malam kalau ada kerja kelompok sampai larut malam. Tapi, ketika melewati rumah bambu di dekat jalan, entah kenapa, aku selalu merinding dan bulu kudukku selalu berdiri.

Dari kejauhan tampak pohon beringin besar di sebelah rumah bambu itu. Aku terus berjalan. Di bawah pohon beringin terlihat beberapa sesajen dan dupa yang sudah terbakar. Entah kenapa, hampir setiap hari orang-orang menaruh sesajen di sana. Mama pernah bilang, banyak penduduk sini — bahkan orang luar —datang berdoa di bawah pohon beringin itu. Ada yang meminta rezeki, jodoh, bahkan anak.
Aku menatap pohon beringin itu lekat-lekat. Besar sekali, mungkin sudah berusia ratusan tahun. Di dekatnya berdiri rumah bambu yang sudah lama ditinggalkan, dikelilingi rumput alang-alang dan kegelapan malam yang pekat. Pemandangan tersebut membuat rumah itu tampak menyeramkan. “Mau bagaimanapun aku harus melewati jalan ini, karena hanya ini satu-satunya jalan pulang,” ucapku dalam hati.
Aku terus berjalan, sesekali aku menoleh ke kanan, memastikan memang tidak ada siapa pun yang memperhatikanku dari dalam rumah bambu itu. Tapi tunggu… aku melihat seseorang — seorang perempuan dengan rambut panjang hingga setengah dada, bermata lebar dan berpakaian serba merah. “Itu siapa? Bukankah rumah itu sudah lama di tinggalkan?” tanyaku pelan. Kakiku gemetar. Perempuan itu hanya diam, menatapku seolah aku bukan orang asing baginya. Aku takut. Dengan kaki gemetar aku mempercepat langkah.
Aku pikir sudah berjalan cukup jauh dari rumah bambu itu. Napasku tersengal, langkahku berat, dan malam terasa semakin pekat. Tapi entah kenapa, tempat ini terasa begitu akrab.
Saat mataku menatap lurus ke depan, dadaku mendadak mengencang. “Itu… bukannya pohon beringin tadi?” gumamku lirih sambil menatap batang tuanya yang menjulang, hitam dan diam, seolah sedang mengawasi.
Tubuhku merinding. Setiap helai rambut di tengkuk berdiri. Aku yakin sudah melewati rumah bambu itu. Jalan berbatu yang panjang dan berliku tadi masih terasa di kakiku. Tapi kini aku kembali lagi ke titik yang sama.
Langkahku terhenti. Hening. Hanya terdengar suara jangkrik dan desir angin yang berputar aneh, seperti berbisik di telingaku. “Ini… tidak mungkin.” Suaraku bergetar. Aku mencoba berpikir jernih, tapi kepala terasa berputar. “Apa aku… berjalan dalam lingkaran?”
Bayangan pohon beringin itu semakin panjang, menjalar ke kakiku seperti tangan-tangan hitam yang mencoba menarikku kembali. Jantungku berdetak begitu keras, hingga suaranya mengalahkan malam. Dalam kebingungan, aku mulai mempertanyakan banyak hal—tentang arah, tentang waktu, bahkan… tentang kewarasanku sendiri.
Aku mencoba mengatur napas. Dada terasa sesak, tapi aku memaksa diri untuk tenang. Mungkin aku hanya panik, pikirku. Mungkin hanya tersesat. Aku melangkah lagi, pelan tapi gemetar. Jalan itu terasa tak berujung.
Kali ini, sesuatu berubah. Di bawah bayangan pekat pohon beringin, aku melihat seorang pria paro baya dengan rambut putih sepanjang bahu dan kumis lebat berwarna sama. Ia berlutut di depan sesajen yang tersusun rapi — bunga, kelapa muda, dan kemenyan yang mengepul. Asapnya menari di udara malam, membentuk bayangan aneh di wajahnya yang pucat.
Ia berdoa dengan begitu khusyuk, bibirnya berkomat-kamit pelan seolah membisikkan sesuatu kepada kegelapan. Entah apa yang dia pinta, aku tidak tahu — tapi ada sesuatu yang membuat bulu kudukku kembali berdiri.
Aku melangkah sedikit mendekat. “Pak… Pak, aku boleh minta tolong?” tanyaku hampir tak bersuara. Tak ada jawaban. Ia tetap diam, bahkan tak menoleh. Hanya suara api kecil dari dupa yang masih menyala, berdesis halus di antara kesunyian.
“Pak…,” panggilku lagi, kali ini sedikit lebih keras.
Pria itu tetap tak bergerak. Namun, udara mendadak menjadi dingin. Angin berhenti. Malam menjadi terlalu senyap. Lalu perlahan — sangat perlahan — pria itu menoleh. “Pulanglah, aku mengizinkanmu. Tapi… kembalilah ke sini setelah urusanmu selesai, karena tempat ini adalah rumah barumu,” capnya berat.
Aku tidak benar-benar mengerti apa maksud dari perkataannya. Namun yang terpenting sekarang, aku harus segera pulang. Mama pasti menungguku.
Tanpa banyak berpikir, aku melangkah cepat, meninggalkan pria paro baya itu sendirian di bawah pohon beringin. Angin malam berembus lembut, membawa aroma dupa yang masih tersisa.
Aku terus berjalan tanpa menoleh ke belakang, melewati jalan berbatu yang terasa semakin sunyi. Beberapa saat kemudian, deru kendaraan di jalan besar mulai terdengar. Aku mendongak lega — rumahku tampak di ujung sana. Tempat di mana kehangatan dan ketenangan seharusnya menunggu.
Namun, langkahku terhenti ketika kulihat banyak orang berkerumun di depan rumah. Aneh… malam sudah larut, tapi kenapa begitu ramai? Aku mempercepat langkah, rasa penasaran dan cemas mulai menekan dadaku. Dari kejauhan aku bisa melihat wajah-wajah yang kukenal — tetangga, teman-teman sekolah, bahkan beberapa di antara mereka menangis tersedu-sedu. Aku mendekati Lina, sahabatku sejak SMP, yang tengah terisak di depan pagar rumah.
“Lin… ada apa? Kenapa kalian di sini?” tanyaku dengan suara gemetar.
Lina tak menjawab. Ia hanya menunduk, menangis semakin keras. Aku mencoba menepuk bahunya, namun seolah tubuhku menembus udara. Ia bahkan tidak menoleh. Aku mulai panik. “Lina! Jawab aku!” Tak ada respons.
Orang-orang di sekelilingku juga seolah tak menyadari kehadiranku. Jantungku berdegup kencang, udara terasa semakin dingin. Dari dalam rumah, terdengar suara teriakan — suara yang begitu kukenal, suara yang telah menemaniku sejak kecil. Itu suara Mama. Tapi… kenapa terdengar begitu pilu?
Aku berlari masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, kulihat Mama berlutut sambil menangis histeris, memeluk seseorang yang terbujur kaku di lantai. Aku mendekat perlahan, jantungku berdetak kencang, mataku berusaha mengenali wajah itu di antara linangan air mata dan cahaya lampu yang temaram. Dan saat akhirnya kulihat dengan jelas… tubuhku seakan membeku.
Perempuan itu— wajahnya… begitu mirip denganku. Tidak. Bukan hanya mirip. Itu aku. Aku terpaku, tubuhku gemetar. “Tidak mungkin… itu aku…” bisikku. Aku ingin berteriak, tapi tak ada suara. Dunia terasa jauh, seolah menolak keberadaanku. Jika yang terbujur di lantai itu adalah aku… lalu aku sendiri siapa?
Aku mencoba mendekati Mama, mencoba memeluknya, tapi tubuhku menembus udara—tak ada yang bisa kurasakan, seolah aku hanya bayangan. “Ma…” panggilku, tapi ia tidak menoleh. Tangisnya semakin keras, memanggil namaku berulang-ulang. Air mataku mulai jatuh, tapi aku bahkan tidak yakin apakah itu nyata. “Kenapa… kenapa begini?” suaraku menggema dalam ruang hampa. “Apa aku sudah mati? Tapi… kenapa aku masih di sini?”
Tak jauh dari tempatku berdiri, kulihat seseorang berdiri mematung di sudut ruangan. Seorang gadis berpakaian serba merah. Aku tertegun. Itu dia —Perempuan dari rumah bambu. Tatapannya kosong, wajahnya pucat, dan langkahnya begitu pelan saat ia mendekat. Sebelum sempat aku berkata apa-apa, tangannya yang dingin menggenggam erat tanganku. “Anita…” suaranya lembut namun menusuk, “Ayo kita pulang.”
Aku menatapnya bingung. “Pulang? Pulang ke mana? Ini rumahku!” jawabku dengan nada tinggi, berusaha meyakinkan diriku sendiri. Namun ia hanya menatapku tanpa ekspresi, mata hitamnya seolah menelan cahaya di sekitarnya. “Anita,” bisiknya lagi, pelan. “Kamu sudah mati. Ayo, pulang.”
Aku terpaku. Kata-katanya bergema di kepalaku, memecah sisa keyakinan yang masih kupegang. “Rumah baru?” gumamku lirih. “Apa maksudmu… rumah baru?” Gadis itu hanya tersenyum tipis — senyum yang tak membawa kehangatan, melainkan kehampaan.
Aku mencoba mengingat… memaksa pikiranku untuk menembus kabut yang menutup segalanya. Tiba-tiba rasa sakit menusuk kepalaku, membuatku berteriak — dan sekelebat ingatan melintas begitu jelas. Ya… sekarang aku ingat. Saat itu aku sedang menyeberang jalan. Langit mulai gelap, hujan rintik-rintik membasahi aspal. Aku sempat menoleh ke kanan dan kiri, tapi semuanya begitu cepat. Sebuah mobil melaju kencang, entah dari mana datangnya. Suaranya meraung, lampu depannya menyilaukan mata. Lalu— Brak! Tubuhku terpental jauh. Dunia berputar, suara di sekitarku menghilang. Aku hanya merasakan sakit yang luar biasa di seluruh tubuhku… darah mengalir dari kepala, pandanganku mulai mengabur. Sebelum semuanya benar-benar gelap, samar-samar aku melihat beberapa orang berlari mendekat, menjerit panik. Lalu… hanya sunyi.
Gadis berpakaian merah itu menggenggam tanganku semakin erat. Aku ingin menolak, tapi tubuhku kaku, langkahku mengikutinya tanpa bisa kuhentikan. Mama masih menangis di belakang, suaranya semakin jauh, semakin samar.
“Sudah waktumu, Anita,” ucap gadis itu datar, matanya kini berwarna hitam legam.
Aku menoleh sekali lagi ke arah Mama, berusaha memanggil, tapi suaraku tak keluar. Lalu semuanya perlahan gelap. Saat kusadari, aku berdiri di depan rumah bambu itu—hanya saja kali ini, di dalamnya ada satu foto baru tergantung di dinding. Foto seorang gadis yang tersenyum… Potretku sendiri.
Sumber ilustrasi: Woman of the Rain karya Svetlana Telest.
