Di pengujung Januari 2024 terdapat perayaan hari lahir Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah sebuah organisasi atau jam’iyyah (keagamaan dan kemasyarakatan) yang dideklarasikan secara aklamasi oleh kiai-ulama pondok pesantren pada 31 Januari 1926/ 16 Rajab 1344 H. Di tahun 2024 ini, NU memasuki tahun kedua di abad kedua, atau tepatnya berusia 101 versi Hijriah.
Hampir mustahil rasanya bila suatu organisasi, apalagi eksis hingga seabad lamanya, nihil dari goncangan dinamika. Begitulah memahami NU. NU secara akar historis telah lengkap merasakan dan merespon getir–pahit manisnya lanskap kehidupan, baik nasional maupun internasional.
Embrio NU tidak terlepas dari pergolakan dinamika internasional. Setidaknya ada dua peristiwa besar yang berkelindan melatarbelakangi; pertama, runtuhnya Kekaisaran Ottoman Turki Utsmani, dan, kedua, polemik Raja Ibnu Saud.
Sesaat warta keruntuhan Khalifah Utsmaniyah tersiar, para ulama dari berbagai kelompok bergegas inisiatif gelar kongres umat Islam. Tujuannya, dalam rangka meneguhkan persatuan kaum muslimin dengan semangat Pan-Islamisme dan bekerja sama me-rebuild eksistensi khilafah. Sekilas, hal ini bertujuan mulia, tetapi secara faktual berbanding terbalik.
Alih-alih menyatukan umat Islam, kongres ini justru menebalkan garis demarkasi. Yang menjadi korban ialah kelompok Islam tradisionalis. Setiap keikutsertaannya, penganut Islam tradisionalis, yang biasanya diwakili KH Wahab Hasbullah, selalu dipojokkan dan tidak mendapat tempat oleh tokoh-tokoh Islam Modernis (Muhammadiyah, Sarekat Islam, Al-Irsyad, dll).
Bersamaan masalah ini, menyeruak pula persoalan baru di Hijaz (Saudi Arabia). Pergolakan politik yang berujung pada keberhasilan Ibnu Saud menjadi raja, menelurkan kebijakan rigid yang menggelisahkan umat Islam dunia. Ibnu Saud adalah raja yang berpandangan monolitik. Tidak hanya menggulirkan aturan anti-pluralitas mazhab, situs-situs bersejarah serta peninggalan peradaban Islam juga hendak disapu bersih. Termasuk makam keluarga Nabi, sahabat beliau, dan tokoh-tokoh Islam menjadi sasaran proyek penghancuran.
Atas dasar itu, KH Wahab Hasbullah membentuk panitia kecil, bernama Komite Hijaz. Komite ini ditugaskan untuk melakukan diplomasi dan menemui sekaligus meminta Ibnu Saud menyudahi kebijakannya. Konon, tidak ada yang berani menyatakan keberatannya kepada Raja Ibnu Saud. Hanya Muslim Indonesia—melalui Komite Hijaz—yang berani mengajukan permohonan, menentang aturan terkait.
Aspirasi yang dimotori KH Wahab Hasbullah akhirnya dikabulkan. Ibnu Saud berhasil dibujuk untuk tidak jadi memberangus situs dan tradisi bersejarah umat Islam. Lewat surat Nomor 2082 tanggal 13 Juni 1928 kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, pemerintah Wahabi menjamin kebebasan umat Islam untuk beribadah sesuai mazhab masing-masing.
Inilah titik tonggak (milestone point) kelompok Islam tradisionalis menunjukkan tajinya. Dari yang sebelumnya dianggap remeh dan ruang gerak terisolasi, berangsur mulai terpandang seiring fakta kontributif dalam merawat jagat dan peradaban Islam.
Menimbang itu, sebagian besar ulama mengusulkan agar Komite Hijaz ini dikembangkan menjadi sebuah institusi yang lebih permanen sebagai wadah penyambung aspirasi, penjaga ideologi, dan kebangkitan para ulama (tradisionalis). Singkat cerita, setelah KH Hasyim Asy’ari mendapat restu dari Syaikhona Kholil, Komite Hijaz dialihkan jadi “jam’iyyah Nahdlatul Ulama”.
Selama berdiri, kiprah dan pengabdian bagi bangsa tak perlu diragukan. Pada awal-awal tahun kelahiran, NU langsung turun gunung melawan penjajah dan sekutu. Ulama NU menerapkan strategi yang cukup unik yakni, memfatwakan perang (jihad) tidak sebatas struktural, tetapi juga secara kultural. Maksudnya, ulama berjihad mengindoktrinasi nasionalisme (cinta tanah air) dan karakter budaya luhur bangsa kepada umat, supaya tidak terpapar budaya kolonial.
Memasuki tahun 1940-an, ruh NU mulai goyah. Adalah faktor politik, NU jadi terbuai dan mengabaikan konstitusi 1926. NU memasuki babak baru dengan melibatkan diri, menapaki ke lingkaran politik nasional. NU menjelma sebagai sebuah partai politik, tidak lagi pure ormas Islam.
Awal perjalanan politik praktis NU diawali dengan bersama-sama organisasi Islam lainnya membentuk partai yang disebut Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Namun kesolidannya tak lama, musababnya dipicu persoalan distribusi kekuasaan. Selama tiga kali pembagian kursi kabinet, NU hanya mendapat jatah Menteri Agama. NU dianggap miskin tenaga ahli yang terampil di bidang lain selain persoalan keagamaan.
Pada kabinet berikutnya, Kabinet Wilopo, NU menghendaki agar kursi Menteri Agama tetap jatuh di pangkuannya (lagi). Namun ajuan itu ditentang, karena sudah tiga kali berturut-turut. Melalui keputusan rapat sebagian besar anggota Masyumi memutuskan menolak. Dan inilah yang memicu keluarnya NU dari partai Masyumi.
Setelah keluar, strategi perpolitikan NU berubah, kini bergerak secara independen. NU mengikrarkan diri jadi ‘partai politik’ yang berdiri sendiri. Mulai dari ‘pusat hingga ranting dan anak cabang’, semua diperintah mempersiapkan segala administrasi dan strategi guna menyongsong pemilu pertama tahun 1955. Kerja keras itu terbayar mengantarkan NU masuk pada tiga besar perolehan suara; Partai NU 18,4 persen suara (45 Kursi), Masyumi 20,9 persen suara (57 kursi), dan Partai Nasional Indonesia (PNI) memperoleh 22,3 persen suara (57 kursi).
Hingga lebih dua dasawarsa, NU fokus pada perpolitikan. Hal ini berimbas pada lupa, lalai akan jatidirinya sebagai organisatoris sosial–keagamaan dan pendidikan. “Elite-elite politik” tidak banyak mengurus umat. Dan yang terparah, orientasi praktis yang serba politis itu mengakibatkan tubuh NU terjerumus kedalam pola yang serba intrik penuh konflik untuk merebutkan kepentingan politik, yang padahal kesemuanya bersifat profan dan sementara.
Melihat kerunyaman itu, banyak kritik kemudian muncul dari kalangan internal NU mengharapkan kembali kepada ‘Khittah NU’. Akhirnya setelah melewati jalan perundingan yang panjang, peran NU dalam panggung politik nasional sebagai parpol atau melibatkan diri politik praktis terhenti tahun 1984, tepatnya saat Muktamar ke-27 di Situbondo. Muktamar di Situbondo inilah yang berhasil mereformulasikan rumusan Khittah NU.
Keputusan ini tidak hanya memberi arti pada aktivitas-aktivitas politik NU di tingkat nasional, tetapi juga memfokuskan kembali pada pendidikan, kesejahteraan masyarakat, misi sosial, dan pembangunan ekonomi, atau dalam isitilah lain, NU sebagai Jam’iyah Diniyah-Ijtima’iyah. NU mempertegaskan tidak terikat lagi dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun. Meminjam istilah Bahrul Ulum (2002), NU telah beralih orientasi dari “politik praktis” ke “sosial praktis”, dari “prestise politik” ke “prestise keagamaan” dalam masyarakat.
Keputusan kembali ke Khittah 1926 berlaku hingga sekarang. Dapat disadari, Khittah 1926 jadi starting point NU untuk meletakkan dasar-dasar pembaharuan baik dari sisi jam’iyah maupun jamaah. Khittah 1926 membuka peta jalan baru (new road map) NU untuk aktif kembali dalam persoalan sejumlah besar Muslim Indonesia dalam beradaptasi dengan perubahan sosial dan modernitas.
Tampak sekali Khittah tersebut, yang diformulasikan tahun 1984, begitu luhur. NU hadir dalam segala relung kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya saja, dalam praktiknya, tarikan politik praktis selalu menjadi dinamika tersendiri dalam tubuh NU. Di titik demikian, Khittah NU vis-a-vis pertarungan internal dan kondisi dinamis di tengah kebangsaan dan dunia global.
Di usia NU yang sudah satu abad lebih, jika melihat ketercapaian visi sesuai Khittah, masih banyak yang belum terealisasikan. Paling tidak ada beberapa sektor di antaranya politik, pendidikan, dan sosioekonomi. Karenanya, kepemimpinan NU sekarang, yang dinakhodai KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), harus lebih intens merefleksikan dan merumuskan program-program terobosan yang taktis.
Pertama, persoalan politik. Orientasi politik dari NU sebenarnya sudah termaktub jelas yaitu Politik Kebangsaan dan Politik Kerakyatan. Kalau dalam istilah Kiai Sahal Mahfudh, politik tingkat tinggi NU atau Siyasah ’Aliyah Samiyah.
Permasalahan dari politik NU kini ialah terkait politik praktis. Ihwal politik praktis ini menjadi momok karena selalu mengendap di era kepemimpinan siapapun. Yang terbaru, PBNU viral diisukan bergerilya tendensi ke salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Alasannya ditinjau dari gelagat-gelagat yang ditunjukkan seperti, PBNU tiba-tiba melayangkan pemberhentian Ketua PWNU Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar, dari jabatannya. Yang kala itu, Kiai Marzuki belum lama habis memberikan ceramah anjuran memilih presiden. Kemudian, Sekretaris Jenderal PBNU, Gus Ipul, juga berstatemen ke awak media “jangan memilih Capres yang didukung Abu Bakar Ba‘asyir dan Amien Rais”. Meski tidak menyebutkan Capres secara spesifik, tapi rakyat sudah paham arahnya kemana.
Tak kalah geger, Gus Yahya beberapa kali terlihat intens dengan Presiden Jokowi. Beliau sangat mendorong dan mendukung program-program Jokowi. Padahal kita tahu, akhir-akhir ini Jokowi disinyalir sedang berpihak ke paslon tertentu. Di sisi lain, Gus Yahya juga mengangkat ketua Lakpesdam PBNU dari seorang Menteri kabinet Indonesia Maju yang notabene saat ini juga menjadi Tim Capres-Cawapres tertentu.
Rentetan itu semua menimbulkan polemik yang dialamatkan kepada PBNU. Bahwa kini PBNU sudah tidak menjaga netralitas lagi. Maka dari itu, menjadi sebuah tantangan untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara partisipasi aktif kebangsaan dan menjaga integritas Khittah NU. Usia yang sudah seabad, mestinya diimbangi dengan laku kedewasaan yang bijak. NU adalah organisasi umat, jangan ditunggangi sebagai kendaraan politik praktis.
Kedua, persoalan pendidikan. Pendidikan masih menjadi tantangan bagi NU. Jika dikomparasikan secara jujur dari segi kualitas, NU masih tertinggal dengan organisasi-organisasi sebelah. Di ranah perguruan tinggi, NU kalah dengan Muhammadiyah. Sedangkan ranah pendidikan dasar-menengah, NU juga belum bersaing dengan sekolah-sekolah yang mengusung konsep Islam Terpadu.
Pada proses pembenahan menuju ekosistem pendidikan yang berkualitas, kata kunci fundamentalnya yaitu gali potensi dan keunggulan yang dimiliki. Setelah itu, kolaborasi dengan berbagai pihak, baik untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik maupun sarana prasarana. Keterlibatan aktif dalam pembaharuan kurikulum dan penerapan teknologi dalam pembelajaran juga menjadi hal yang penting untuk cermati. NU telah memiliki modal kuantitas, tinggal dieksekusi melalui Lembaga Pendidikan masing-masing (LPTNU & LP Ma’arif)
Ketiga, persoalan sosioekonomi. Sosioekonomi tampaknya menjadi tantangan yang tersulit dan terumit, pasalnya dari dulu hingga kini, masih banyak kaum nahdliyyin belum beranjak ke level yang sejahtera. Di awal-awal kepengurusan Gus Yahya, ada pencanangan program kemandirian ekonomi NU. Namun hingga kini, saya belum menangkap secara menyeluruh bentuk program strategisnya seperti apa. Yang baru tahu adalah, program Koin NU.
Lagi-lagi, dalam hal filantropi, NU tertinggal jauh dengan Muhammadiyah. Ini jelas menjadi tantangan sekaligus PR tersendiri. NU harus berdikari. Para Nahdliyin harus sejahtera ekonomi keumatannya.
Bila dicermati hanya sektor keagamaan yang dinilai sudah cukup berhasil. Hal ini terbukti umatnya telah menyerap dan mengaktualisasi prinsip-prinsip ajaran NU (Islam Nusantara): tawasuth, tasamuh, tawazun, dan i’tidal. Dua tahun lalu NU juga menginisiasi forum Religion of Twenty (R20), sebuah pertemuan antar pemuka agama seluruh dunia untuk membahas isu-isu keagamaan internasional hingga menuju titik temu.
Tantangan yang dihadapi NU kedepannya dari sektor keagamaan mungkin lebih bagaimana mengekspor ajaran NU ke belahan dunia. Negara-negara di dunia jadi mengkoagulasi senyawa NU yang inklusif, akomodatif, dan adaptif. Tentu tidak mudah. Tapi, bila ini berhasil, tatanan dunia menjadi steril. Tak ada lagi paham-paham yang mencerai-berai, karena akan terkikis dengan sendirinya.
Dengan demikian, NU di abad kedua tidak boleh pasif. Waktunya momen ini menjadi panggung untuk mengorkestrasi, membuktikan keberlanjutan misinya dalam membentuk masyarakat yang berdaya. Tantangan bukanlah hambatan, melainkan peluang untuk terus tumbuh dan memberi kontribusi besar bagi Indonesia yang lebih baik. NU harus senantiasa bergerak dinamis–kontributif–progressif.