Wangi kembang melati yang banyak tumbuh di halaman Mbah Karto membauri udara pagi. Pagi itu lalu-lalang warga yang menjalankan rutinitas seperti berangkat kesekolah, kantor, kebun ataupun memberi makan hewan ternak, menjadi pemandangan yang menghibur Mbah Karto sembari menikmati kopi.
“Pak, bagaimana keadaan kebun kita?” tanya sebuah suara dari arah belakang.
Mbah Karto yang sedang mengunyah tempe benguk terdiam. Dia menolehkan pandangan ke arah sumber suara. Ternyata istrinya yang lumpuh, akibatk kecelakaan, terjatuh dikebun mereka. Cericit burung pagi melantunkan nyanyian indah.
“Mengapa kau melihatku seperti itu, Pak?”
“Ahh, tak apa, Bune. Insyaallah kita panen. Wangi bunga kopi sudah menyeruak di kebun,” jawab Mbah Karto menyunggingkan senyum.
Kabut tipis masih setia mencungkupi desa. Kepul asap dari dapur warga, berkelin dengan aroma basah tanah. Gesekan dedaunan seakan rapalkan zikir pagi. Tampak wajah istri Mbah Karto penuh dengan kelegaan.
“Semoga ya, Pak. Hasil itu bisa digunakan membantu Darto yang sedang membutuhkan biaya sekolah anaknya,” ujar Mbok Lasmi. Mendengar jawaban itu, Mbah Karto kembali tersenyum.
Pelan, pria tua itu menghampiri sang istri dan membantunya duduk di kursinya. Kursi kayu yang menyimpan berjuta kenangan mereka berdua sejak pengantin baru. Setelah memastikan istrinya duduk nyaman, mereka berdua merenung. Menyimak kesibukan di depan rumah.
***
Bunyi kecipak air yang diterjang roda sepeda Mbah Karto menemaninya berangkat ke kebun. Angin pegunungan yang sejuk membelai wajah keriputnya. Pemandangan kebun menghijau sejenak mengobati kesepian hati Mbah Karto.
“Bagaimana kabarnya Mbah?” sapa Supri, pemilik kebun yang tak jauh dari kebun Mbah Karto.
“Alhamdulillah, baik, ngger. Itu kopimu ayu-ayu, siap panen juga?”
“Insyaallah, Mbah. Doanya, kebun jenengan juga sae-sae biji kopinya,” sahut Supri mengikuti kepergian Mbah Karto dengan pandangan takjub.
“Kok bisa ya setua itu masih sehat?” gumam Supri sembari melanjutkan perkerjaan.
***
Tiba di gubuk kebun, Mbah Karto segera menyenderkan sepeda kebanggaannya di samping tiang bambu. Tubuh kering itu dengan semangat menyambar sabit di boncengan sepeda. Cekatan disianginya rumput yang tumbuh di bawah tanaman kopi. Biji-biji kopi yang memerah tampak sedap dipandang. Di antara ayunan sabit, bulir keringat menetes deras membasahi kebun. Banyak harapan yang tersimpan dari panen tahun ini. Benaknya masih jelas mengingat kejadian beberapa waktu lalu.
Sore itu langit tampak mendung. Kilat menyambar-nyambar, menaburkan suasana tidak nyaman di rumah Mbah Karto. Darto, anaknya, baru datang dari kota. Sudah lima tahun dia tak menyambangi tanah dan rumah masa kecilnya. Kedua orang tua itu tampak sumringah mendapati anak mereka sudah menikah dan sang menantu tengah hamil cucu pertama.
“Pak-Buk, aku minta tiga kambing di kandang ya. Buat tabungan lahiran Watik” ujar Darto membuka obrolan.
“Loh, ngger. Baru kemarin tho kamu mengambil dua gelondong kayu jati! Katanya itu laku tiga puluh juta. Apa tidak ada sisa?” tanya Mbah Karto.
“Bapak ini bagaimana tho! Kota itu biaya hidupnya mahal. Duit segitu hanya cukup buat angsuran rumah,” sergah Darto. Mendapati jawaban kurang ajar dari anaknya, wajah Mbah Karto yang hitam kian mengelam.
“Sudah, Pak! Ayo ke dalam dahulu,” ujar Mbok Lasmi, menarik tangan suaminya yang hendak menggebrak meja. Dengan isyarat mata, dia menyuruh suaminya untuk ikut ke dalam kamar.
“Sudahlah, Pak! Berikan saja kambing itu.”
“Heh ya ndak bisa to bune. Itu kan kambing tabungan haji kita,” jawab Mbah Karto.
“Iya, Pak. Haji itu penting. Tetapi jika kita mati siapa yang mendoakan kalau bukan Darto?”
Mendengar jawaban istrinya, Mbah Karto hanya terdiam. Haji itu memang penting. Tetapi siapa yang menjamin ibadah itu diterima? Sedangkan ilmu yang dipelajarinya, salah satu amal yang tak putus meski jasad sudah berkalang tanah adalah doa anak. Terpaksa dia mengamini pendapat sang istri.
***
Mbah Karto masih sibuk dengan ayunan sabit. Pikiranya terus mengelana, termasuk memikirkan Darto. Dia sudah memberikan pendidikan terbaik, fasilitas cukup, hingga anaknya itu diterima berkerja di perusahaan. Tetapi mengapa kok anak itu justru makin tidak tahu diri.
“Ya Allah Gusti! Kula sudah berusaha mendidik Darto sebaik mungkin. Semoga dia lekas sadar,” lirih Mbah Karto. Kini tak hanya keringat, melainkan asin air mata ikut membasahi tanah kebunnya.
Darto kembali berulah. Beberapa minggu lalu, dia menyambangi rumah. Dengan angkuh, dia meminta uang hasil panen untuk sekolah anaknya. Darto merasa berhak meminta hal tersebut. Dan lagi-lagi Mbah Karto memilih mengalah, saat Darto berujar sembari menunjuk anak kecil digendongan Watik: “Arjuna ini kan juga keturunanmu tho, Pak!”
Suara lonceng sepeda Mbah Karto nyaring menyisipi sunyinya kebun. Dari langit barat, semburat oranye sedikit lagi akan habis. Kembali Mbah Karto mengayuh sepedanya yang mengeluarkan bunyi kemriyet itu menyusuri jalanan setapak menuju rumahnya. Suasana senja itu tampak magis. Azan dari corong masjid desa lantang bersahutan memanggil para hamba.
“Mbah Karto!” panggil seorang pemuda, dengan napas terengah-engah.
“Eh, iya, Ngger. Ada apa kok panik sekali?”
“Itu Mbah, Simbok Lasmi meninggal,” terang sang pemuda. Mbah Karto yang mendengar itu langsung terdiam. Pikirnya, inilah yang dimaksud sang istri sebagai mengunduh nikmat. Dia akan mendapatkan doa dari Darto.
“Alhamdulillah! Semoga surga-Nya menanti,” timpal Mbah Karto.
Raut heran jelas tampak di wajah sang pemuda. Baru kali ini dia menyaksikan orang yang santai menghadapi kematian keluarganya. Cekatan pemuda itu menerima uluran sepeda Mbah Karto, sembari mengikuti langkah pria tua itu menuju rumahnya yang sudah ramai.
***
Di ruang tengah, dengan takzim Mbah Karto menyimak penjelasan mengenai kematian istrinya. Seorang ibu muda tampak tersendat dan berusaha keras menyampaikan kronologi kematian. Saat hendak mengirim makanan ke rumah Mbah Karto, perempuan itu mendengar rintihan lirih dari arah kamar. “Ya Allah, semoga engkau memberikan kemulyaan kepada Darto. Aku dan suami, sudah makin rapuh ditelan usia takdir-Mu. Jagalah dirinya, Aamiiin,” perempuan itu mengulangi kalimat terakhir Mbok Lasmi.
Sejenak, wanita muda di hadapan Mbah Karto menghela napas berat. Tangis sudah sejak tadi mewarnai penjelasannya. Dia berusaha mengingat kembali beberapa kata yang dia dengar dari arah kamar. Saat masuk kamar, Mbok Lasmi dilihatnya sedang bersujud.
“Itu, Mbah, saat aku hendak membangunkan Mbok Lasmi, ketika tanganku menyentuhnya, simbok tiba-tiba tergeletak. Dia sudah tidak bernapas,” ujar ibu muda itu mengakhiri kalimatnya.
***
Pemakaman Mbok Lasmi berjalan lancar. Tidak ada tangis saat tanah mulai menimbunnya. Bahkan, Darto dan Istri datang dengan baju necis. Sebutir air mata pun tak keluar dari kelopak mata Darto. Setiba di rumah, lelaki itu dengan langkah cepat memasuki kamar orang tuanya. Mbah Karto sedang menatap sajadah tempat istrinya mengembuskan napas terakhir .
“Sudah.. Sudah.. Sudah! Pak! Jangan bersedih begitu,” tegur Darto.
“Maksudmu apa, Ngger?”
“Simbok sudah pergi. Sekarang Bapak ikut saja denganku ke kota. Hidup di sana. Rumah ini dijual saja.”
“Dasar anak tidak tahu diri! Aku mendidikmu bukan untuk berlagak seperti ini!” berang Mbah Karto.
Mendengar ucapan ayahnya, Darto santai saja menyalakan rokok. Dengan langkah anggkuh, dia dekati sang ayah dan duduk di hadapannya. Asap rokok mengepul, membuat suasana sumpek di kamar itu makin terasa. Kembali obrolan antara anak dan ayah berlanjut.
***
Mobil SUV buatan Jepang yang dikemudikan Darto melesat meninggalkan rumah masa kecilnya. Di belakang, tampak berbagai prabotan rumah diangkut. Watik hanya diam di samping Darto. Dengan berbagai rayuan dan bujukan, termasuk akan memberangkatkan haji, Darto berhasil memboyong ayahnya hijrah ke kota.
“Nanti bapak bisa meniatkan haji juga buat simbok,” ujar Darto mengakhiri obrolan. Mbah Karto terdiam. Akhirnya karena merasa pendapat anaknya itu benar, di sinilah sekarang dia. Duduk di kursi tengah bersama sajadah terakhir istrinya.
Dalam diam, Mbah Karto berulang kali teringat obrolan dengan sang istri. Bahwa Dartolah yang akan memberikan doa kepada mereka saat jasad sudah kembali bersama tanah. Ucapan istrinya itu terus menggaung di benaknya.
“Mungkin sekarang Darto memang bersikap kurang baik. Siapa tahu, Allah akan memberikan hidayah padanya?” kata Mbok Lasmi saat suatu hari dia dan Mbah Karto menatap kesibukan pagi para penduduk.
Tengah asyik Mbah Karto mengingat momen bersama istri, tiba-tiba dia merasakan guncangan hebat. Terdengar olehnya ledakan beruntun dari belakang. Kobaran api membumbung tinggi dari truk Pertamina yang terguling hingga teriakan Watik menyadarkanya.
“Allah!”
***
Untuk kedua kali, lelaki itu mengantar keluarganya menuju peraduan abadi. Gurat penyesalan tampak jelas di wajah yang berbalut perban. Kecelakaan beruntun sebulan lalu memakan korban banyak. Tak terkecuali mobil yang ditumpanginya.
Lembut, lelaki itu mengusap tanah yang masih merah. Dia satu-satunya korban yang selamat dari kejadian naas tersebut. Bibirnya gemetar melafazkan surah Ya Sin dari buku kecil di tangannya. Mata yang sendu itu menatap lekat tulisan nisan yang tertancap di atas gundukan tanah merah tersebut.
“Darto Sobari. Usia 30 tahun, Wafat…” dia tak mampu membaca tulisan itu lagi. Air mata menghalangi penglihatanya.
“Semoga Allah mengampunimu, ngger,” bisik Mbah Karto.
Sleman, 1 Februari 2023.