Salah satu peran santri adalah menjaga kohesititas kehidupan sosial. Anda boleh berasumsi lain tentang santri, namun yang perlu kita sadari adalah proses pendidikan dan pembinaan baik dalam konteks agama, sosial, maupun budaya yang dijalani santri. Santri memiliki kewajiban menyebarluaskan ajaran dan nilai agama, serta menjaga stabilitas sosial di lingkungannya baik dalam ruang yang kecil maupun luas.
Sudah menjadi tradisi pesantren bahwa wajadilhum bilma’ruf atau diskusi ilmiah dalam setiap mengkaji ilmu atau saat mutalaah bersama. Hal ini menjadi upaya agar kebenaran itu tidak hanya dimiliki oleh sepihak kelompok, melainkan ragam perspektif yang kemudian diolah menjadi satu kemaslahatan bersama. Artinya pengetahuan, nilai, dan ajaran agama itu menjadi sangat penting untuk disampaikan dan diterapkan dalam kehidupan yang beragam.
Anda boleh mengira bahwa santri yang memiliki kebiasaan ke mana-mana sarungan dan “joinan” rokok itu hanya bisa diundang saat ada pengajian, selamatan, khataman quran, atau doa 100 hari bahkan 1000 hari. Tetapi jauh daripada itu, para santri memiliki cakrawala yang luas untuk menjaga stabilitas sosial masyarakat.
Anda mau bukti? Sebentar saya cari sebatang rokok dulu. Nah…., Kalau begini kan enak. Dalam kehidupan sosial yang beragam watak, budaya, dan pemikirannya, tentu akan mengalami sebuah selancar-selancar seni dalam pengendaliannya. Beragam asumsi dan dinamika sosial tentu menjadi bumbu sedap dalam kehidupan yang sangat beragam. Kita tidak harus berbicara skala Nusantara, satu kampung saja pasti ada polemik yang muncul karena berbeda anggapan, nalar, corak berpikir, dan intuisinya.
Santri acap kali menjadi peramu dalam ruang-ruang dinamis. Tidak hanya bagian membaca doa, kadangkala untuk merangkul sesama muslim yang berbeda pandangan, santri menjadi penengah dalam menentukan keputusan yang terbaik. Kita tentu kenal dengan “Pak Mudin” yang mana tugasnya tidak hanya berkaitan dengan talkin, merawat janazah, atau menikahkan orang, tapi juga kerap bersinggungan dengan hal-hal administratif yang tentu berbeda dengan latar belakangnya sebagai santri. Namun, siapa sangka seorang mudin tentu bisa mengatasi permasalah-permasalahan administratif.
Selanjutnya, pengusaha yang santri pasti akan memikirkan kemaslahatan yang tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan kemaslahatan orang lain. Khusnudzan saya, pengusaha yang santri pasti memiliki jiwa berbagi dan kepedulian yang sangat besar terhadap sesama. Petani yang santri, ia tidak akan menyerobot batas lahan orang lain, bahkan ia justru mengurangi lahannya untuk kepentingan bersama, seperti jalan setapak dan zakat dari hasil panen. Pegawa negeri yang santri, ini masih terkait khusnudzan saya, akan berlaku jujur dan memenuhi tanggung jawab sosial, moral, dan administrasi dalam menyandang tugasnya. Artinya, apa pun profesi yang berjiwa santri pasti akan lebih besar kepekaan sosialnya.
Menurut Kiai Yahya Cholil Staquf, salah satu tugas santri adalah memukan solusi dalam setiap persoalan publik. “Kita harus mencari jalan keluarnya, bersama-sama dengan manusia-manusia lain dan kita harus kembali kepada ukhuwah bashariah.” Hal ini menunjukkan bahwa santri adalah penjaga erat tali kasih antara sesama manusia, bukan berlatar kepentingan golongan, institusi, atau kepentingan politik tertentu. Dengan kata lain, santri adalah poros utama menjaga stabilitas kehidupan sosial. Ilustrasi santri rokok joinan adalah salah satu upaya berbagi bersama, dalam istilah Jawa ngumpul, guyup rukun, sesrawungan.
Dengan keterbukaan itu, Islam yang nantinya ada di tonggak generasi penerus bukan menjadi Islam yang tertutup, atau Islam yang diwarnai dengan pola pikir gumedhe (sombong), congkak, merasa paling benar dan paling “wah” sendiri; tetapi Islam berada pada tangan yang mau bebrayan dengan siapa pun. Berbeda iya, tetapi tidak menjadi batasan sinergitas dalam menjaga stabilitas kehidupan sosial.
Oleh sebab itu, santri bisa berada pada ruang dan kondisi apa pun. Kala ia menjadi seorang pemimpin, ia akan bertanggung jawab dengan posisi yang diembannya. Ketika ia menjadi rakyat biasa dan guru ngaji di kampung, ia akan mengamalkan ilmunya baik dengan mengajar atau menjadi cahaya di antara kegelapan moral sosial. Karena yang terpenting adalah membuka diri dan menjaga jati diri, membuka tangan dan merangkul sesama tanpa mengubah prinsip keimanan.