Dunia Sudah Berubah, Kenapa Sekolah Masih Sama?

Kalau kita perhatikan, dunia berubah begitu cepat. Teknologi berkembang, informasi mengalir deras, dan kebutuhan manusia terus bergeser. Namun, di tengah perubahan besar itu, ada satu hal yang terasa diam di tempat: sistem pendidikan di sekolah.

Setiap pagi, murid-murid duduk berbaris di kelas, mencatat materi pelajaran, dan mempersiapkan diri untuk ujian. Pola ini sudah berjalan selama puluhan tahun. Yang menjadi pertanyaan, apakah metode yang sama masih efektif untuk dunia yang sudah sangat berbeda?

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Sistem pendidikan kita lahir dari kebutuhan masa lalu. Dulu, sekolah dibentuk untuk mencetak pekerja pabrik yang patuh, teratur, dan bisa mengikuti instruksi. Maka tak heran jika hingga kini, struktur sekolah masih menekankan kedisiplinan, jam belajar panjang, dan sistem evaluasi yang kaku.

Namun, zaman sudah berubah. Kita hidup di era kreativitas, kolaborasi, dan inovasi. Di dunia yang bergerak cepat ini, siswa justru lebih membutuhkan ruang untuk berpikir kritis, berani mencoba, dan belajar sesuai minatnya. Sayangnya, sistem saat ini belum sepenuhnya memberi ruang untuk itu.

Banyak siswa merasa terjebak dalam rutinitas belajar yang membosankan. Mereka selalu diminta menghafal, bukan memahami. Kecerdasan mereka hanya dinilai dari angka, bukan dari proses. Bahkan, kreativitas seringkali dianggap menyimpang karena tidak sesuai buku teks.

Padahal, di luar sana, dunia menuntut kemampuan beradaptasi, berpikir out of the box, dan kerja tim, hal-hal yang jarang disentuh di ruang kelas. Sementara itu, tekanan akademik, ranking, dan standar nilai malah membuat sebagian siswa kehilangan rasa percaya diri dan semangat belajar.

Saya sendiri pernah mengalami masa-masa sekolah yang membosankan. Berangkat sekolah, duduk rapi, mendengar penjelasan guru dan mencatat, kemudian menutup buku. Kapan saya membuka buku lagi? Saat akan ujian. Karena, saat itu yang saya pikirkan adalah orang-orang hanya akan peduli pada nilai ujian saya. Dan jelas ini adalah pemikiran yang salah.

Soal-soal ujian yang kita kerjakan di atas kertas kebanyakan tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata. Saat saya duduk di bangku kuliah, semua nilai ujian yang sempurna itu terasa tak ada apa-apanya. Justru, keterampilan yang kita butuhkan adalah yang tidak kita pelajari di dalam kelas. Contohnya, kemampuan berpikir kritis, public speaking, kerja tim, dan keberanian untuk mengeluarkan pendapat.

Ternyata, hal yang sama dialami juga oleh teman-teman saya. Sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, kami merasa pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah kurang efektif. Mengingat seberapa lama Bahasa Inggris dipelajari di sekolah, sungguh ironis ketika menyadari bahwa kebanyakan dari kami belum fasih berbicara langsung menggunakan Bahasa Inggris.

Kenapa? Karena kami hanya difokuskan belajar untuk ujian, untuk mengerjakan soal-soal di atas kertas. Pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah didominasi oleh teori, bukan praktik. Padahal, bukankah belajar bahasa seharusnya membuat kita fasih untuk berbicara?

Karena itu, demi membuat pendidikan menjadi relevan kembali, maka solusinya bukan sekadar mengganti kurikulum atau menambahkan pelajaran baru, tapi melakukan pembenahan menyeluruh terhadap cara pendekatan belajar.

Guru perlu diberi pelatihan untuk menjadi fasilitator pembelajaran yang aktif dan menyenangkan, bukan sekadar penyampai materi. Penilaian tidak seharusnya hanya fokus pada ujian akhir, tapi juga menilai proses berpikir, kerja sama, dan keberanian mencoba. Pembelajaran juga harus disesuaikan dengan perkembangan zaman, dengan memanfaatkan teknologi sebagai jembatan untuk mewujudkan metode belajar yang lebih fleksibel.

Sudah saatnya kita bertanya ulang: untuk siapa sebenarnya sekolah itu? Apakah untuk mencetak manusia seragam, atau untuk mengembangkan potensi setiap individu?

Pendidikan seharusnya memanusiakan manusia, bukan malah mengabaikan kebutuhan mereka. Jika sekolah tetap kaku dan menolak berubah, maka siswa akan semakin merasa jauh dari makna belajar. Namun jika sekolah mulai membuka diri, mendengar kebutuhan zaman, dan menempatkan siswa sebagai pusat dari pembelajaran, maka pendidikan akan kembali punya harapan.

Karena pada akhirnya, masa depan tidak menunggu mereka yang sekadar hafal rumus dan teori, tapi mereka yang siap berpikir, beradaptasi, dan memberi solusi nyata. Dan sekolah, jika berani berubah, bisa menjadi tempat yang menyiapkan generasi-generasi muda untuk itu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan