Pada malam itu, 8 Desember 2018, semua warga desa Macanputih dan Kejoyo Banyuwangi, Jawa Timur beserta warga masyarakat yang menyaksikan (berjumlah ribuan orang) tumpah ruah beramai-ramai mengarak puluhan gunungan (piramid) berhias endhok (telur) dan ratusan jodhang berisi kembang endhog (telur ditusuk bilah bambu) keliling kampung. Dengan diiringi musik tradisional, seperti Barong, Kuntulan (rebana), Cenceng, Jaranan, Gandrung, Drumband, dan sebagainya arak-arakan itu benar-benar menggetarkan kampung. Suasana semakin meriah, arak-arakan itu juga diramaikan dengan puluhan Tapekong (semacam ondel-ondel di Jakarta) setinggi 2-7 meter yang dibuat khusus untuk acara itu berbentuk Kakbah, pohon khuldi, Raja Firaun, Leak Bali, Hantu, Tuyul, dan Raksasa.
Arak-arakan yang berangkat dari masjid itu setelah mengelilingi semua jalan desa dan lorong-lorong kampung akhirnya kembali ke masjid semula. Gunungan dan jodhang diletakkan di tengah serambi masjid, sementara tapekong-tapekong dijajar di luar masjid. Dengan menyesaki seluruh ruangan masjid bahkan meluber ke halaman, pekarangan, dan jalan-jalan sekitarnya, para warga melantunkan pembacaan kitab Barjanzi (karya Al-Busyairi) yang biasa disebut serakalan, berasal dari kata asroqol, yaitu kata pembuka syair dalam Berjanzi.
Suasana pembacaan sangat ramai, bahkan hiruk-pikuk karena pembacaan dilakukan secara kompetitif beradu lagu dan diselingi pantun. Warga berkelompok-kelompok menurut RT atau mushalla. Apabila satu kelompok memimpin pembacaan, maka yang lain mendengarkan sambil bersiap-siap mengambil alih pimpinan. Makanya, kadang-kadang tak terhindarkan terjadi saling lempar (menggunakan kue) dan saling ejek satu sama lain. Di puncak acara, yaitu saat melantunkan shalawat nabi sambil berdiri, ada petugas berkeliling memberikan minuman tradisional, mereka menyebutnya ”Bir” (air dicampur asam dan gula jawa) dan toyo arum (air ditabur irisan daun pandan dan aneka rupa bunga). ”Bir” untuk diminum agar kualitas kemerduan suara tetap terjaga, toyo arum diusap-usapkan di tenggorokan. Usai serakalan, warga bubaran menuju pulang sambil dibagi (kadang berebut) kembang endhog.