Dewasa ini, mempelajari ilmu tasawuf tetap sangat menarik. Karena menjadi ahli fikih (faqih) tidak cukup, seperti kata Imam Syafii dalam syairnya, tanpa sekaligus mendalami tasawuf (sufi). Begitu pula sebaliknya.
Kemudian, yang menjadi pertanyaan saya, apakah cara menuju Tuhan dalam dunia tasawuf hanya bisa ditempuh dengan cara berkhalwat?
Seorang cerpenis AA Navis dalam karyanya yang berjudul Robohnya Surau Kami telah memberikan kesadaran kepada kita. Dalam cerpennya, Navis berkisah tentang kelalaian seorang kepala keluarga terhadap anggota keluarganya. Akibat dari kelalaiannya tersebut, sang tokoh cerita mampu membunuh dirinya.
Tokoh utama dalam cerpen ini adalah Haji Saleh yang dikenal sebagai pengasah pisau dan penjaga surau. Haji Saleh juga kerap dikenal sebagai lelaki tua yang sangat taat pada perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya.
Karena ketaatannya kepada Tuhan itu, Haji Saleh tidak peduli dengan sekelilingnya, termasuk keluarganya. Yang dia pedulikan adalah selalu beribadah. Tetapi akhir dari cerita tersebut sangat mengenaskan. Apa yang dibayangkan dan diharapkan Haji Saleh tidak sesuai dengan yang kenyataan. Betapa mengejutkan, bila kematian yang dilakukan dengan menggorokkan pisau ke tenggorokannya, kemudian dimasukkanlah Haji Saleh ke dalam neraka karena kelalaiannya terhadap keluarga, lingkungan, dan sosialnya.
Ketika diberi tugas menulis esai ini, saya teringat pada tulisan M Faizi yang merupakan seorang kiai penulis buku MerusakBumidariMejaMakan. Kiai asal Sumenep itu pernah mendaku, jika ingin belajar fikih dasar, kita ngaji Taqrib saja sudah cukup; atau Bidayah untuk tasawuf; atau Risalatul Muawanah untuk dua-duanya.
Bagaimana praktiknya? Pergilah ke jalan raya. Di situlah ruang praktikum dan laboratorium kehidupan berada. Fikih melarang menyalip di tikungan atau menerobos lampu merah karena “dloror”. Tasawuf mengajarkan “tawadhu” yang artinya memprioritaskan kendaraan yang lebih besar/berat dan kita mengalah.