Fikih Manhaji dan Kontekstualisasi Hukum Islam

139 views

Setelah para ulama berijtihad memahami dalil-dalil yang tertulis dalam nash baik Al-Qur’an atau hadis, hukum yang telah ditetapkan biasa kita kenal dengan sebutan fikih.

Fikih merupakan produk ijtihad ulama yang diambil melalui metode ushul fikih dan latar belakang konteksnya. Sehingga, tidak asing di dalam fikih terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan muncul karena berbeda dalam metode memahami nash, dan berbeda pula aspek geografis yang melatarbelakangi penetapan sebuah hukum.

Advertisements

Perbedaan-perbedan yang terjadi dalam fikih tidak lain karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi. Ada faktor af’al al-mukallaf (perilaku seseorang), geografis, sosial, ekonomi masyarakat. Dan, dibandingkan faktor-faktor tersebut, ulama yang berijtihad merupakan faktor yang paling penting.

Dengan demikian, fikih bisa menyesuaikan kebutuhan, seperti dalam mazhab Syafi’i kita mengenal qoul qodim dan qoul jadid, di mana kedua qoul tersebut berbeda pada penetapan hukumnya.

Hal-itu seperti terjadi karena, salah satunya, faktor geografis. Qoul qodim merupakan hasil ijtihad Imam Syafi’i ketika berada di Irak, sementara qoul jadid-nya merupakan hasil ijtihadnya di Mesir.

Apa yang terjadi pada hasil ijtihad Imam Syafi’i tersebut menunjukkan bahwa perbedaan konteks sosial pada zaman dulu dan sekarang melahirkan berbagai persoalan yang membutuhkan sebuah jawaban berbeda.

Fonomena semacam ini merupakan sebuah alarm bagi ulama untuk merumuskan ulang semangat fikih baru. Karena, bagainamapun rumusan-rumusan fikih yang tertuang dalam kitab-kitab klasik belum dapat menghadapi problematika di era modern ini. Sementara, zaman terus berkembang dan problematika umat semakin banyak.

Karena itu, hemat saya, hal ini adalah sebuah tantangan fikih bagi ulama dan para kaum sarungan untuk mengkonteksualisasikannya sebagai wujud respons yang solutif. Ahli fikih tidak seyogyanya membiarkan suatu persoalan tanpa sebuah jawaban hukum.

Kontekstualisasi fikih sebenarnya bukan hanya faktor tempat dan waktu, tetapi juga berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan kita agar dapat melaksanakan syariat Islam. Sebagai contoh pada kasus bai’ul aroya, yaitu menjual kurma mentah yang masih berada di pohonnya dengan kurma matang yang berada di tangan orang lain. Jika dianalogikan, mungkin sama dengan di Indonesia menjual padi yang masih di sawah dengan nasi. Pada dasarnya hal ini tidak diperbolehkan karena nilai dan timbangannya yang belum tentu sama, tetapi karena kebutuhan Nabi membolehkan hal itu.(Mu’jam Al-ma’ani).

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan