Tak ada manusia paripurna, dan karena itu juga tak ada pemimpin yang sempurna. Bahkan, sistem demokrasi pun, yang di dunia modern saat ini dianggap sebagai sistem paling baik dalam mekanisme pemilihan pemimpin, juga tak pernah melahirkan pemimpin yang sempurna. Tak sedikit pemimpin buruk yang justru lahir dari sistem pemilihan yang demokratis. Hitler pun juga muncul dari sistem pemilihan yang demokratis ini. Demokrasi memang tak selalu melahirkan “anak-anak yang manis”.
Kenapa? Sebab, kontestasi dalam alam demokrasi seringkali lebih banyak diisi bukan oleh orang-orang baik yang berniat baik, tapi oleh mereka yang penuh ambisi. Karena itu, orang-orang yang disuguhkan untuk dipilih dalam pemilihan umum (pemilu), misalnya, tidak selalu merupakan orang-orang yang terbaik. Bisa jadi malah sebaliknya.
Itulah kenapa filsuf Romo Franz Magnis-Suseso sampai membuat kredo yang cukup bernas: pemilu bukan untuk mencari pemimpin yang ideal, yang paripurna, melainkan mencegah orang jahat, atau orang yang paling jahat, untuk berkuasa. Tentu, pemikiran Franz Magnis-Suseso itu berangkat minimal dari dua fenomena. Pertama, tak ada tokoh ideal atau yang diidealkan berada di panggung kontestasi. Kedua, panggung kontestasi justru menjadi ajang orang-orang jahat untuk berebut kuasa.
Bagi kalangan pesantren, apa yang dikemukakan Franz Magnis-Suseso tersebut sebenarnya bukan hal baru. Sebab, esensinya sama persis dengan kaidah fikih yang sudah begitu diakrabi oleh kaum santri, yaitu menolak sesuatu yang mendatangkan kerusakan didahulukan atas sesuatu yang mendatangkan manfaat. Dalam konteks pemilihan presiden, maka menolak kemunculan pemimpin yang diyakini akan mendatangkan kerusakan harus didahulukan ketimbang mencari-cari siapa yang diinginkan untuk menghadirkan kebaikan.
Memang, dalam berbagai kitab klasik (kitab kuning) yang telah lama menjadi bacaan santri, di antaranya Al-Ahkam Al-Sultaniyah karya Imam Mawardi atau Muqaddimah karya Ibn Khaldun, banyak disebutkan tentang kriteria pemimpin dan cara memilihnya. Namun, hampir semua yang tertuang dalam kitab-kitab klasik tersebut adalah sesuatu yang diidealisasikan. Sebut saja, misalnya, kriteria pemimpin yang layak dipilih menurut Imam Mawardi, yaitu adil, berilmu pengetahuan, sehat jasmani, bersih, cerdas, berani, dan tegas. Semuanya merupakan sifat-sifat yang diidealisasikan dan pengukurannya juga relatif subyektif.
Catatan yang indah terkait pemilu. Saya semula berharap adanya list track recod dari ketiga kontestan yang sedang bersaing sehingga kita yang “tak sempat” bertabayyun ada bekal untuk memilih yang paling jauh dari berbuat kejahatan/kerusakan. Mungkinkah?
siapa kira-kira yang saya akan pilih