Fikih Santri Memilih Presiden

111 views

Tak ada manusia paripurna, dan karena itu juga tak ada pemimpin yang sempurna. Bahkan, sistem demokrasi pun, yang di dunia modern saat ini dianggap sebagai sistem paling baik dalam mekanisme pemilihan pemimpin, juga tak pernah melahirkan pemimpin yang sempurna. Tak sedikit pemimpin buruk yang justru lahir dari sistem pemilihan yang demokratis. Hitler pun juga muncul dari sistem pemilihan yang demokratis ini. Demokrasi memang tak selalu melahirkan “anak-anak yang manis”.

Kenapa? Sebab, kontestasi dalam alam demokrasi seringkali lebih banyak diisi bukan oleh orang-orang baik yang berniat baik, tapi oleh mereka yang penuh ambisi. Karena itu, orang-orang yang disuguhkan untuk dipilih dalam pemilihan umum (pemilu), misalnya, tidak selalu merupakan orang-orang yang terbaik. Bisa jadi malah sebaliknya.

Advertisements

Itulah kenapa filsuf Romo Franz Magnis-Suseso sampai membuat kredo yang cukup bernas: pemilu bukan untuk mencari pemimpin yang ideal, yang paripurna, melainkan mencegah orang jahat, atau orang yang paling jahat, untuk berkuasa. Tentu, pemikiran Franz Magnis-Suseso itu berangkat minimal dari dua fenomena. Pertama, tak ada tokoh ideal atau yang diidealkan berada di panggung kontestasi. Kedua, panggung kontestasi justru menjadi ajang orang-orang jahat untuk berebut kuasa.

Bagi kalangan pesantren, apa yang dikemukakan Franz Magnis-Suseso tersebut sebenarnya bukan hal baru. Sebab, esensinya sama persis dengan kaidah fikih yang sudah begitu diakrabi oleh kaum santri, yaitu menolak sesuatu yang mendatangkan kerusakan didahulukan atas sesuatu yang mendatangkan manfaat. Dalam konteks pemilihan presiden, maka menolak kemunculan pemimpin yang diyakini akan mendatangkan kerusakan harus didahulukan ketimbang mencari-cari siapa yang diinginkan untuk menghadirkan kebaikan.

Memang, dalam berbagai kitab klasik (kitab kuning) yang telah lama menjadi bacaan santri, di antaranya Al-Ahkam Al-Sultaniyah karya Imam Mawardi atau Muqaddimah karya Ibn Khaldun, banyak disebutkan tentang kriteria pemimpin dan cara memilihnya. Namun, hampir semua yang tertuang dalam kitab-kitab klasik tersebut adalah sesuatu yang diidealisasikan. Sebut saja, misalnya, kriteria pemimpin yang layak dipilih menurut Imam Mawardi, yaitu adil, berilmu pengetahuan, sehat jasmani, bersih, cerdas, berani, dan tegas. Semuanya merupakan sifat-sifat yang diidealisasikan dan pengukurannya juga relatif subyektif.

Pada kenyataannya, dalam kontestasi pemilihan presiden, nyaris tak ada kontestan yang memenuhi seluruh kriteria dan persyaratan yang ideal atau yang diidealisasi seperti dalam kitab-kitab klasik tersebut. Yang sering terjadi justru sebaliknya. Para calon atau orang-orang yang berebut kuasa adalah mereka yang sesungguhnya jauh dari kriteria dan persyaratan idealnya. Dalam bahasa Franz Magnis-Suseso: “orang-orang jahat yang ingin berkuasa”. Dalam bahasa kaidah fikih: “orang-orang yang akan mendatangkan kerusakan”.

Jika benar atau sekadar diandaikan bahwa pemilu merupakan medan laga orang-orang jahat berebut kuasa, dan itu artinya akan mendatangkan kerusakan, maka berbekal kaidah fikih tersebut, kita bisa menempuh pendekatan negasi dalam menghadapi Pemilihan Presiden 14 Februari 2024 ini. Artinya, calon yang paling negatif, yang paling berpotensi mendatangkan kerusakan, harus paling awal dicoret dari daftar nominasi keterpilihan.

Tentu, cara paling mudah untuk mengetahui siapa yang paling berpotensi “mendatangkan kerusakan” adalah dengan menelusuri rekam jejak atau track record dari semua kontestan. Bagi kaum santri, penelusuran rekam jejak juga bukan hal baru karena selama berabad-abad telah menjadi bagian dari tradisi keilmuan Islam. Contohnya adalah pemeriksaan sanad hadis. Begitu ditemukan seorang periwayat (rawy) hadis pernah melakukan kebohongan, misalnya, maka perawiyannya akan dikesampingkan. Itulah yang namanya pendekatan negasi. Itulah yang namanya track record.

Kenapa track record penting? Ini berkaitan dengan teori pengulangan. Per teori, seseorang yang pernah melakukan suatu kejahatan berpotensi untuk melakukan kejahatan serupa. Pembohong akan menutupi kebohongannya dengan kebohongan-kebohongan lain. Seorang koruptor akan menutupi korupsinya dengan kejahatan-kejahatan lain. Dan seterusnya. Pendeknya, seperti maksiat, penyimpangan dan kejahatan itu candu.

Cara lain untuk menggunakan pendekatan negasi dalam memilih presiden adalah dengan menesuluri inner circle atau lingkaram dalam dari para kandidat. Mereka bisa berasal dari kalangan pendukung atau orang-orang kepercayaan. Jika para pendukungnya atau orang-orang kepercayaannya adalah mereka yang kita kelompokkan sebagai yang berpotensi “akan mendatangkan kerusakan”, maka kandidatnya juga harus paling awal dicoret dari daftar nominasi keterpilihan. Sebab, inner circle atau para pembisik inilah yang sering menjadi biang kerok buruknya kepemimpinan.

Melalui pendekatan negasi tersebut, maka proses dalam memilih presiden, misalnya, bukan diawali dengan memilih siapa yang paling kita sukai, atau yang kita anggap paling gokil. Prosesnya harus diawali dengan menyingkirkan siapa yang paling berpotensi mendatangkan kerusakan paling besar. Dengan begitu, berdasarkan kaidah fikih tersebut, bahkan sekadar menjadi golput pun sama artinya dengan membiarkan orang yang akan mendatangkan kerusakan berkuasa.

Dan itulah yang dimaksud oleh Franz Magnis-Suseso bahwa pemilu sebenarnya bukan untuk memilih pemimpin yang ideal, melainkan untuk “mencegah orang jahat berkuasa”. Setelah yang berpotensi jahat disingkirkan, tentu sisanya, orang yang akan kita pilih, mungkin memang bukan merupakan yang terbaik, atau bukan yang paripurna, tapi setidaknya yang potensi kejahatannya atau kerusakan yang akan ditimbulkannya lebih kecil.

Menjadilah pemilih yang rasional berdasarkan kaidah fikih santri.

Multi-Page

2 Replies to “Fikih Santri Memilih Presiden”

Tinggalkan Balasan