Fikih Toleransi dan Refleksi Hari Santri

91 kali dibaca

Setiap tanggal 22 Oktober, Indonesia memperingati Hari Santri Nasional. Momentum ini bukan hanya penghargaan terhadap peran santri dalam sejarah perjuangan bangsa, tetapi juga pengingat akan peran penting kaum santri dalam memperjuangkan harmoni sosial di tengah keragaman yang luar biasa.

Salah satu tantangan terbesar di negeri ini adalah bagaimana kita, sebagai umat beragama, dapat terus merawat hubungan yang harmonis di tengah perbedaan keyakinan. Di sinilah fikih toleransi menemukan urgensinya, menjadi panduan untuk hidup berdampingan dalam kedamaian.

Advertisements

Fikih, dalam konteks Islam, bukanlah sekadar aturan hukum yang kaku, tetapi ia adalah disiplin yang dinamis dan dapat menyesuaikan diri dengan konteks sosial yang berkembang. Fikih tumbuh dari semangat ijtihad—kemampuan intelektual untuk menafsirkan teks-teks keagamaan dalam terang realitas yang terus berubah.

Fikih toleransi lahir dari kebutuhan untuk menghadapi kenyataan multikultural dan multiagama di mana Islam eksis. Dalam fikih ini, toleransi bukan sekadar wacana normatif, melainkan praktik yang sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan sosial.

Sebagaimana kita tahu, Islam sangat menghargai perbedaan. Dalam Al-Qur’an, Allah secara jelas berfirman: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6). Ayat ini menegaskan prinsip dasar dalam Islam bahwa keberagaman keyakinan adalah sunnatullah, sebuah kenyataan yang harus diterima dan dihargai.

Dalam konteks hubungan antarumat beragama, santri sebagai penggerak keagamaan memiliki tanggung jawab besar untuk memperkuat hubungan antar kelompok yang berbeda keyakinan. Hal ini mengingat Indonesia yang multikultural dan multiagama, tempat santri memainkan peran penting dalam menciptakan kedamaian.

Fikih toleransi menuntut kita untuk tidak hanya berbicara tentang “hidup berdampingan”, tetapi juga tentang “hidup dalam kebersamaan”. Ini adalah konsep yang lebih dalam dari sekadar toleransi pasif.

Jika toleransi hanya berarti membiarkan pihak lain menjalankan keyakinannya tanpa gangguan, maka fikih toleransi mengajak kita untuk saling belajar, berinteraksi, dan menghormati keyakinan serta ritual keagamaan orang lain. Dalam sejarah Islam sendiri, kita dapat melihat bagaimana Rasulullah SAW menunjukkan contoh toleransi ini.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan