Fikih Toleransi dan Refleksi Hari Santri

88 kali dibaca

Setiap tanggal 22 Oktober, Indonesia memperingati Hari Santri Nasional. Momentum ini bukan hanya penghargaan terhadap peran santri dalam sejarah perjuangan bangsa, tetapi juga pengingat akan peran penting kaum santri dalam memperjuangkan harmoni sosial di tengah keragaman yang luar biasa.

Salah satu tantangan terbesar di negeri ini adalah bagaimana kita, sebagai umat beragama, dapat terus merawat hubungan yang harmonis di tengah perbedaan keyakinan. Di sinilah fikih toleransi menemukan urgensinya, menjadi panduan untuk hidup berdampingan dalam kedamaian.

Advertisements

Fikih, dalam konteks Islam, bukanlah sekadar aturan hukum yang kaku, tetapi ia adalah disiplin yang dinamis dan dapat menyesuaikan diri dengan konteks sosial yang berkembang. Fikih tumbuh dari semangat ijtihad—kemampuan intelektual untuk menafsirkan teks-teks keagamaan dalam terang realitas yang terus berubah.

Fikih toleransi lahir dari kebutuhan untuk menghadapi kenyataan multikultural dan multiagama di mana Islam eksis. Dalam fikih ini, toleransi bukan sekadar wacana normatif, melainkan praktik yang sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan sosial.

Sebagaimana kita tahu, Islam sangat menghargai perbedaan. Dalam Al-Qur’an, Allah secara jelas berfirman: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6). Ayat ini menegaskan prinsip dasar dalam Islam bahwa keberagaman keyakinan adalah sunnatullah, sebuah kenyataan yang harus diterima dan dihargai.

Dalam konteks hubungan antarumat beragama, santri sebagai penggerak keagamaan memiliki tanggung jawab besar untuk memperkuat hubungan antar kelompok yang berbeda keyakinan. Hal ini mengingat Indonesia yang multikultural dan multiagama, tempat santri memainkan peran penting dalam menciptakan kedamaian.

Fikih toleransi menuntut kita untuk tidak hanya berbicara tentang “hidup berdampingan”, tetapi juga tentang “hidup dalam kebersamaan”. Ini adalah konsep yang lebih dalam dari sekadar toleransi pasif.

Jika toleransi hanya berarti membiarkan pihak lain menjalankan keyakinannya tanpa gangguan, maka fikih toleransi mengajak kita untuk saling belajar, berinteraksi, dan menghormati keyakinan serta ritual keagamaan orang lain. Dalam sejarah Islam sendiri, kita dapat melihat bagaimana Rasulullah SAW menunjukkan contoh toleransi ini.

Namun, fikih toleransi bukanlah tanpa batas. Islam, seperti agama-agama lainnya, memiliki nilai-nilai dasar yang tidak dapat dinegosiasikan, seperti keyakinan pada tauhid. Namun, di luar hal-hal fundamental ini, Islam sangat membuka ruang untuk dialog, perbedaan pendapat, dan kerjasama dengan umat agama lain.

Inilah yang menjadi prinsip utama fikih toleransi: tidak perlu menghapus identitas atau keyakinan agama kita untuk bisa hidup berdampingan dalam damai. Justru, kita merawat keberagaman itu dengan penuh penghormatan dan kebijaksanaan.

Peran santri dalam mengimplementasikan fikih toleransi menjadi sangat signifikan. Sebagai penjaga moral dan intelektual Islam, santri memiliki kewajiban untuk menampilkan wajah Islam yang moderat, yang rahmatan lil ‘alamin, Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam semesta.

Hari Santri Nasional sejatinya adalah pengingat akan peran besar santri sebagai pembawa pesan damai di tengah realitas pluralitas agama di Indonesia. Melalui pesantren, santri dibekali dengan pemahaman agama yang mendalam, tetapi juga keterbukaan terhadap perbedaan.

Pesantren, sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, memiliki tradisi panjang dalam merawat keberagaman. Banyak kisah yang menunjukkan bagaimana pesantren berperan sebagai pusat penguatan dialog antaragama.

Dalam banyak kesempatan, kiai-kiai pesantren membuka pintu lebar-lebar bagi umat agama lain untuk berdialog, berbagi pandangan, dan bekerja sama dalam kegiatan sosial. Kiai-kiai besar, seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), telah memberikan contoh bagaimana pesantren dapat menjadi benteng bagi perdamaian antaragama.

Namun, di tengah semangat ini, tantangan terus berdatangan. Munculnya paham-paham radikal yang mengklaim kebenaran tunggal dan menolak perbedaan agama menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan fikih toleransi.

Tantangan ini menuntut santri untuk lebih kuat dalam menggali khazanah Islam yang kaya akan ajaran-ajaran kedamaian dan toleransi. Santri harus menjadi agen perubahan, yang tidak hanya mempertahankan tradisi keislaman yang toleran, tetapi juga mampu menjawab tantangan-tantangan kontemporer dengan pemikiran yang segar.

Hari Santri Nasional bukan sekadar seremoni peringatan sejarah. Ini adalah refleksi akan peran penting santri dalam menjaga keutuhan bangsa dan kedamaian dunia. Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi, di mana agama sering kali dijadikan alat untuk memecah belah, peran santri sebagai pengusung fikih toleransi menjadi semakin krusial.

Toleransi bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan. Ia adalah cara terbaik untuk membangun dunia yang lebih baik, di mana perbedaan bukanlah ancaman, tetapi kesempatan untuk memperkaya kehidupan bersama.

Cabeyan, 2024.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan