FOMO dan Tantangan Dakwah Santri Kontemporer

Media sosial, yang kini dengan mudahnya diakses oleh setiap orang melalui genggaman, hampir menghilangkan batas geografis antarsatu wilayah dengan wilayah yang lain.

Informasi tentang gaya hidup, tren busana, bahkan sampai pada mubaligh atau ustaz yang viral, kini banyak digandrungi, karena seringnya muncul di beranda-beranda media sosial.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Ironisnya, fenomena ini tidak hanya menyasar remaja-remaja di perkotaan, tetapi juga remaja di perdesaan. Sebuah penelitian menunjukkan, bahwa gaya hidup di media sosial, berpengaruh signifikan terhadap perilaku konsumtif remaja di perdesaan, khususnya pembelian produk yang sedang tren di media sosial (rama.unimal.ac.id, 2024).

Hal ini menegaskan, bahwa ‘virus’ Fear of Missing Out atau yang biasa disingkat FOMO, telah menjangkiti hampir seluruh lapisan masyarakat (remaja) di negeri ini.

FOMO adalah sebuah perasaan cemas, takut, dan tidak puas (dengan yang dimiliki), karena merasa tertinggal oleh tren, atau aktivitas dari orang lain. Biasanya, perasaan tersebut dipicu oleh media sosial (Wikipedia Bahasa Indonesia, 2025).

Uniknya, di kalangan remaja muslim/muslimah, FOMO tidak hanya soal tren keduniawian. Tetapi juga, tren soal-soal keagamaan, seperti: ikut-ikutan tren jilbab syar’i model terbaru, jubah syar’i kekinian, atau kajian ustaz yang sedang viral.

Fenomena ini, menimbulkan dua risiko sekaligus, yaitu: risiko psikologis dan risiko spiritual.

Dari aspek psikologis, FOMO dapat menyebabkan kecemasan sosial dan perasaan minder bagi penganutnya. Ia bisa kehilangan kedamaian dan kebahagiaan, sebab merasa dirinya tertinggal dengan orang lain.

Lebih jauh, penganut FOMO akan melakukan berbagai upaya untuk bisa mengikuti gaya hidup yang sedang tren, yang bisa jadi itu sudah melampaui kemampuan ekonominya.

Kemudian dari aspek spiritual, FOMO berpotensi melahirkan perilaku riya, dengan berburu busana syar’i sebagai ajang gengsi.

Riya adalah keinginan untuk melaksanakan suatu amalan, agar memperoleh pujian dari orang lain, minimal agar dilihat dan mendapatkan pengakuan.

Sementara, perilaku ini adalah salah satu yang paling ditakutkan oleh Nabi saw. sebagaimana dalam ungkapannya, bahwa: “Sesungguhnya yang paling aku takutkan yang terjadi pada kalian adalah syirik kecil, yaitu riya.” (HR. Ahmad, no. 23630).

Selain itu, FOMO juga bisa menimbulkan masalah yang serius dalam keilmuan Islam, jika hanya ikut-ikutan kelompok pengajian ustaz yang viral, sebab tidak diketahui kejelasan sanad keilmuannya.

Oleh karena itu, FOMO tidak boleh dipandang sebagai fenomena biasa, sebagai akibat dari perkembangan teknologi informasi dan media sosial semata. Kita patut mencurigai, bahwa bisa jadi, FOMO ini tidak secara alamiah atau natural, tetapi dia bersifat struktural.

Maka sebagai santri, kita perlu memandang ini sebagai tantangan bagi generasi muda muslim/muslimah. Literasi digital tidak kalah pentingnya dengan literasi kitab. Literasi digital perlu diperkuat, digalakkan, dan dikampanyekan kepada pemuda-pemudi di seluruh negeri.

Dengan kekuatan literasi tersebut, santri diharapkan mampu memilah dan memilih mana konten yang sesuai dengan prinsip syariat dan yang sekadar mencari sensasi.

Kemudian, di setiap pondok-pondok pesantren, perlu atau harus memandang fenomena FOMO ini sebagai tantangan dakwah kontemporer. Tantangan dakwah di era digital itu bukan hanya tentang menyampaikan pesan-pesan dakwah Islam, tetapi juga bagaimana menjaga umat agar tidak terpapar arus informasi yang menimbulkan kemudaratan.

Sekali lagi, sebagai santri, kita harus mampu menuntut dan menuntun diri kita sendiri dan orang lain untuk tidak terjerumus ke dalam ‘virus’ FOMO.

Sumber ilustrasi: Steam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan