Seperti umumnya pondok pesantren, keberadaan Pondok Pesantren Waria Al Fatah di Celenan, Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta juga terdampak pandemi Covid-19. Bedanya, sebagai kelompok minoritas, pesantren waria ini tak terdaftar sebagai kelompok terdampak pandemi. Akibatnya, mereka harus mencari sendiri jalan untuk bertahan hidup.
Dirangkum dari berbagai sumber, Pondok Pesantren Waria Al Fatah mungkin satu-satunya di Indonesia yang santrinya berasal dari kelompok masyarakat transgender. Keberadaan mereka masih sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat umum. Karena itu, jangankan untuk berjuang bertahan hidup, untuk bisa beragama secara benar pun mereka masih disinisi, seakan tak ada “kavling surga” bagi mereka.
Setelah Gempa Yogya
Keberadaan Pondok Pesantren Waria Al Fatah ini berawal dari adanya bencana alam. Saat terjadi gempa bumi di Yogyakarta pada 2006, banyak warga yang tewas sebagai korban. Dua di antaranya adalah waria. Selain korban jiwa, banyak warga yang kehilangan rumah tinggal, termasuk para waria.
Shinta Ratri, salah seorang waria, merasa prihatin dengan nasib teman-teman. Ia ingin ada tempat tinggal khusus untuk menampung para waria. Ia pun berinisiatif menyediakan rumah tinggal sekaligus dijadikan pesantren.
Pada 2008, keinginan Shinta Ratri terwujud. Ia mampu menyediakan sebuah rumah dengan 10 kamar yang kemudian juga dijadikan pesantren. Pesantren itu ia beri nama Pondok Pesantren Waria Al Fatah. Saat itu, ada sekitar 40 orang waria yang terdaftar sebagai santri.
Seperti umumnya pondok pesantren, di Pondok Pesantren Waria Al Fatah ini para waria diajari mengaji, memperdalam ilmu agama dan berlatih beribadah secara benar. Sebelum adanya pesantren ini, kelompok waria ini kesulitan jika hendak belajar agama dan beribadah. Sebab, keberadaan mereka belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat umum. “Jadi, Al Fatah ini mengakomodasi teman-teman yang ingin dekat dengan Tuhan,” ujar Shinta Ratri.
Para waria ini kemudian mempercayakan kepada Ustadz Arif Nuh Safri untuk menjadi pengasuh pondok. Sehari-hari, Arif Nuh Safri adalah dosen di Institut Ilmu Alquran An Nur Bantul. Lelaki inilah yang mendamping dan mengajari para waria mengaji. Tak berselanga lama, pesantren itu pindah di kawasan Kotagede pada 2014.
Sebagai kelompok transgender, keseharian santri waria ini memang berbeda dengan di pesantren pada umumnya. Setidaknya, dari cara berpakaian mereka. Saat beribadah, misalnya, para waria mengenakan busana berdasar pada kenyamanan masing-masing. Artinya, jika ia lebih nyaman memakai sarung, maka mereka pakai sarung. Jika lebih suka pakai rukuh atau mukena, maka tak ada yang melarang. Sehingga, antara yang pakai sarung atau mukena berkumpul jadi satu, tak ada batas pemisah berdasar jenis kelamin.
Sayangnya, ada kelompok masyarakat yang suka dengan keberadaan pondok pesantren waria ini. Maka, pada 2016, Pondok Pesantren Waria Al Fatah ini harus ditutup. Alasannya adalah ketidaknyamanan para warga karena rumah yang dipakai untuk pesantren adalah milik Shinta yang posisinya di tengah pemukiman dan tak ada izin untuk dijadikan lembaga. Juga ada penolakan dari kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Front Jihad Islam (FJI). Alasannya, keberadaan Pondok Pesantren Waria Al Fatah dicurigai akan menelurkan fikih yang memperbolehkan nikah sesama jenis.
Namun, tak lama kemudian, sekitar empat bulan berselang, pesantren waria ini mulai dihidupkan kembali. Selanjutnya ada tiga guru mengaji yang rutin mengajar di pesantren ini, yaitu Ustadz Arif Nur Safri, Idlofi, dan Sholihul Amin Al Ma’mun. para waria ini belajar membaca al-Quran, belajar iqra, dan hafalan surat-surat pendek.
Bertahan di Tengah Pandemi
Pandemi Covid-19 menjadi ujian berikutnya yang sangat berat bagi santri Pondok Pesantren Waria Al Fatah ini. Saat virus Corona mulai mewabah, mereka dilanda kebingungan karena tidak bisa beraktivitas, tidak bisa keluar pondok untuk bekerja mencari nafkah. Aktivitas pondok langsung berhenti total.
“Yang paling membuat syok itu kawan-kawan tidak bisa bekerja,” kata Shinta Ratri. Di masa normal, biasanya mereka bekerja sebagai pengamen, penjahit, pegawai salon, hingga jadi pekerja seks.
Menyadari tak jelas kapan pandemi berakhir, mereka berpikir harus bisa melakukan sesuatu yang berfaedah. Kegiatan pertama yang mereka lakukan adalah membuat masker yang ditujukan untuk kalangan waria di Yogyakarta. Setelah masker, mereka juga membuat hand sanitizer setelah memperoleh pelatihan dari seorang apoteker.
Namun, hasil kegiatan mereka tak cukup membantu untuk menyambung hidup. Apalagi, sebagai kelompok minoritas, mereka juga tidak tercatat sebagai penerima bantuan berupa uang tunai Rp 600 ribu dari pemerintah. Akhirnya, mereka berinisiatif menggalang donasi. Beruntung, ada saja orang-orang yang mengulurkan tangan. Alhasil, sebanyak 40 santri dan 138 waria yang kini berada di Pondok Pesantren Waria Al Fatah bisa bertahan dari donasi itu.
Maka, dari pesantren waria itu, setiap saat masih terdengar suara orang mengaji, mendaraskan keagungan Tuhan.
Salut dan hebat