Akhir-akhir ini di media massa ramai berita tentang penangkapan kelompok yang mengatasnamakan khilafah dan jihad. Tengah diusut pula oleh pihak yang berwajib tentang arus dana yang digunakan oleh mereka untuk kepentingan gerakan atau “dakwah” kelompok ini. Dicurigai pula beberapa sekolah yang terindikasi gerakan khilafah ini. Lalu, bagaimana memahami fenomena ini dalam kerangka masyarakat demokrasi?
Dalam alam demokrasi tentu saja apapun boleh kecuali yang tidak mengikuti aturan hukum dan tata berpikir yang rasional logis. Sebab, demokrasi adalah permainan bagi orang-orang yang berakal sehat. Berakal sehat artinya tidak hanya rasional logis, tapi juga menuntut ke-etis-an, sebuah kualitas yang lebih dalam lagi. Persoalan mengenai orang-orang yang kemudian menjadi berpaham kaku, bahkan ekstrem, tidak hanya membidahkan sesuatu kegiatan tetapi mengkafirkan bahkan memiliki misi politis untuk memecah belah dan menjatuhkan pemerintah, ini tentu saja perlu kita renungi bersama.
Banyak contoh negara yang telah disusupi “pion” semacam ini untuk merusak keutuhan negara tersebut, bisa dilihat di Timur Tengah. Di Indonesia, negeri yang terkenal kaya alam rayanya ini pun tak lepas menjadi sasaran daripada politik global yang memiliki kepentingan tertentu dalam urusan politik, terutama ekonomi.
Untuk memahaminya penulis mengajukan beberapa contoh kecil yang bisa kita pikirkan bersama. Di sebuah kampus negeri (di kota besar), penulis pernah bertemu dengan mahasiswa yang kebetulan sudah keluar dari kampus. Darinya penulis mendapat cerita mengenai masjid di kampus yang dikelola oleh kelompok HTI (cerita ini didapatkan setelah kelompok itu dibubarkan pemerintah). Melalui obrolan panjang lebar dengannya penulis memahami apa yang berlaku di masjid itu.
Metode mereka (HTI) mengajak ngobrol, “diskusi”, hingga akhirnya mengajak ikut kajian-kajian adalah strategi mereka dalam mempengaruhi mahasiswa yang lain (terutama yang baru ke masjid itu). Setelah ikut kajian-kajian tersebut, si mahasiswa itu kemudian menjadi kaku dan mulai menyalah-nyalahkan pemerintah, bahkan lingkungan sekitarnya sendiri yang dianggapnya kurang tepat. Dari sini bisa kita lihat, bahwa yang disasar oleh mereka adalah pikiran si mahasiswa. Dengan dipengaruhi dengan kalimat-kalimat “yang terkesan logis” kemudian mereka menjadi percaya seolah-olah tindakan mereka benar adanya.
Kebetulan orang yang ditemui penulis adalah mantan daripada mahasiswa yang pernah ikut dalam gerakan-gerakan tersebut, sehingga menjadi jelaslah kualitas logikanya ketika masih menjadi mahasiswa baru itu kurang kuat sehingga mudah terpengaruh. Bahkan, menurut kesaksiannya, dia sempat tidak suka berselawat, tidak suka tahlil, dan amalan-amalan semacamnya. Pertanyaannya adalah, berarti benar kalau gerakan yang mengatasnamakan khilafah itu hanya berlaku pada mereka yang tidak kuat logikanya? Penulis berani mengambil kesimpulan, itu sudah jelas!
Sebab, mantan mahasiswa yang penulis temui itu berbalik sikapnya ketika pada suatu waktu diajaknya oleh seseorang yang adalah guru ngaji (dari Nahlatul Ulama/NU) untuk berselawat bersama tuna netra. Dan dari sana dia menangis dan tersentuh hatinya, sehingga menganggap bahwa sikap kerasnya selama ini adalah salah belaka. Dari sini dimulailah sikap barunya untuk mengenal NU lebih jauh.
Dari contoh di atas bisa disimpulkan bahwa kita bisa saja menjadi sasaran gerakan yang ekstrem, kaku, dan mengatasnamakan jihad atau khilafah tersebut; jika kita tidak punya tradisi beragama yang kuat (maksudnya yang kita pelajari di kampung), atau jika kita tidak berada di lingkungan yang tepat, atau jika kita tidak punya dasar logika yang bagus (misalnya karena kita suka membaca buku sehingga logika berpikir kita kuat), maka kita bisa saja terkecoh oleh mereka. Karena gerakan tersebut sungguh lihai dalam memanipulasi pikiran sasarannya. Padahal jika kita punya dasar logika yang kuat, kita akan mudah mencari benang merah yang kita ditunjukkan kecatatan logika mereka, terutama dalam konteks masyarakat demokrasi, atau lebih-lebih tentang hubungan antara negara dan agama Islam. Wassalam.