Sore menjelang senja. Sampean lihat, betapa mesra sepasang burung peking bertengger jejer di sebatang ranting di sela kerimbunan dedaunan sepohon mahoni yang tumbuh subur di pinggir jalan raya itu. Sementara si burung betina memandangi sepohon mangga yang tumbuh subur di pekarangan sebuah rumah di sisi kirinya, pasangannya itu memandangi cakrawala yang sarat sapuan aneka warna di sisi kanannya.
Tidak lama kemudian, pada saat yang bersamaan, mereka saling menoleh sembari menyebut asma yang sama dengan nada sama-sama penuh kekaguman, “Gusti Allah!” Karena sejurus kemudian lagi-lagi mereka ngomong secara bersamaan, si burung jantan memberi kesempatan pasangannya itu mengutarakan maksud terlebih dahulu.
“Lihat,” kata si burung betina sembari sayap kirinya menunjuk pohon mangga itu, “betapa Maha Pemurah Gusti Allah Ta’ala menumbuhkan dedaunan itu: yang baru trubus tampak kemerahan di depan daun-daun yang lebih lama tampak merah kehijauan di depan daun-daun yang lebih lama lagi tampak hijau royo-royo. Sementara daun-daun yang tampak menguning—beranjak kering—yang boleh jadi tidak lama lagi luruh ditiup angin, cuma satu-dua di antara mereka. Dari sini saya menyimpulkan bahwa agaknya setiap saat Dia lebih senang menumbuhkan ketimbang meluruhkan mereka…”
Sejenak ia berhenti, memandangi pasangannya mengangguk-angguk. Kemudian ia melanjutkan, “Di samping itu, bukankah perpaduan warna-warna mereka menjadikan pohon mangga itu tampak begitu memesona—begitu cantik?”
“Cantik seperti dirimu,” sahut si burung jantan yang spontan dan tidak dinyana itu—untuk beberapa saat—menjadikannya tersipu malu. Malu-malu burung, barang tentu.
Kemudian sembari menunjuk ke arah cakrawala dengan sayap kanannya, si burung jantan berkata, “Sampean lihat betapa lembut Gusti Allah Ta’ala dalam mengatur gradasi yang tampak memisahkan sekaligus menyatukan berbagai warna langit itu: tampak sebagian kebiruan, menipis terus menipis memisah-menyatukan dengan yang tampak biru muda menipis terus menipis hingga tampak keputih-putihan…”
Sembari manggut-manggut burung betina itu menyahut, “Ya, betapa lembut pengaturan-Nya…”
Lalu secara serempak mereka memuji Dzat Pencipta, Pengatur alam raya, “Subhanallahi wa bihamdihi!”
Tidak dinyana, sekonyong-konyong semilir angin membelai tubuh mereka menjadikan si burung betina berkata, “Apakah Dia senang dengan pujian kita, hingga seketika menggiring angin ke arah kita?”
“Ya, dan semoga Dia menerima pujian kita…”
“Amin!” seru mereka serempak penuh harap.
Kemudian sambil mereka terus memandangi pergantian aneka warna cakrawala itu, si burung betina melanjutkan tanggapannya, “Saya rasa kelembutan-Nya pun berlaku dalam mengatur pergantian waktu. Bukankah tadi masih siang saat kita datang ke sini, lalu secara perlahan-lahan sore menggeser siang, dan kini senja mulai menggeser sore secara perlahan-lahan hingga-hingga seakan-akan kita tidak merasakan pergantiannya?”
Setelah berhenti sejenak untuk menghela napas sembari memperhatikan pasangannya itu menyimak dengan saksama, ia melanjutkan, “Memang di satu sisi kelembutan pergantian antar waktu menjadikan kita nyaman—tidak kaget—dalam mengalami perputarannya. Namun di sisi lain, apabila kita terlena, bukankah menjadikan kita kerap merasa bahwa betapa cepat waktu berlalu?”
“Makanya,” jawab si burung jantan dengan penuh kasih sayang, “kita harus memanfaatkan waktu yang dianugerahkan oleh Gusti Allah Ta’ala kepada kita sebaik-baiknya. Ngomong-ngomong selama ini amal apa saja yang pernah sampean lakukan?”
“Alhamdulillah, sejak kecil saat masih bersama orang tua saya hingga hidup bersama sampean, Gusti Allah Ta’ala selalu memberi saya kesempatan dan kekuatan beribadah memuji-Nya terutama di setiap sore menjelang petang dan setiap malam menjelang pagi. Selain itu bukankah kita telah merawat dan mendidik anak kita dengan baik—menjadikannya seekor burung baik yang taat beribadah kepada-Nya dan suka menolong sesama burung hingga bahkan sekali waktu pernah menolong seorang manusia?”
Setelah burung jantan itu mengiyakan, secara bersamaan sekonyong-konyong mereka terkenang cerita anak mereka yang kini menjadi cerita mashyur di kalangan para burung.
Suatu hari di awal pagi —saat kebanyakan orang di sebuah perkampungan beberapa jarak dari jalan raya itu masih terlelap—, para burung mulai tampak bersiap-siap terbang mencari makanan. Itu mereka lakukan setelah berkali-kali menyenandungkan pujian ke hadirat Dzat Pemelihara seluruh alam. Karena anak mereka mulai beranjak dewasa, mereka mengizinkannya mencari makan sendiri agar menjadi seekor burung yang mandiri.
Ia pun terbang menuju perkampungan itu. Tidak berapa lama kemudian, ia mendapati butir-butir beras tercecer di halaman sebuah masjid dengan nama tertulis di plang: Baitul Muttaqin. Saat menukik untuk memakannya, dari dalam masjid ia melihat beberapa bocah tampak keluar membawa sebatang tongkat untuk kemudian menggeletakannya di bawah tatakan sebuah beduk di pojok serambi masjid yang setengah terbuka itu. Kemudian mereka pergi, duduk-duduk di pinggir jalan, sementara pandangan mereka mengarah ke serambi masjid itu. Sepertinya mereka sedang menunggu sesuatu, entah apa.
Ia tidak tahu mengapa mereka melakukan itu. Yang ia tahu beberapa saat kemudian seorang kakek tampak berjalan kepayahan meraba-raba awang-awang di depannya berusaha mencari jalan keluar dari masjid itu. Ia mulai mengerti, rupanya mereka tengah mengerjai kakek buta itu. Didorong rasa kasihan, ia terbang menghampiri si kakek lalu mengarahkannya dengan kicauannya hingga si kakek menemukan tongkatnya. Menyaksikan itu mereka sama-sama tercengang, dan masing-masing benak mereka berjanji untuk tidak melakukan perbuatan itu lagi. Karena bisa jadi si kakek adalah seorang wali yang bahkan seekor burung pun mau menolongnya, sementara mereka malah mengerjainya.
Dengan perasaan senang —karena telah menolong sesama makhluk—, ia kembali terbang ke arah beras tersebut. Akan tetapi, begitu mendapati teman-teman sesama burung sedang memakannya, ia belok terbang ke arah lain —membiarkan mereka menikmatinya. Burung-burung itu, yang tadi melihat perbuatannya, pun menceritakannya hingga menjadi cerita masyhur di kalangan para burung.
Demikianlah cerita kebaikan anak mereka yang menjadikan mereka kian mensyukuri segala karunia yang telah dianugerahkan oleh Gusti Allah Ta’ala kepada mereka.
Sementara itu, sampean lihat, senja kian merekah; cakrawala menyajikan gradasi aneka warna begitu indah. Kemudian secara berjemaah mereka pun berulang-ulang menyenandungkan pujian kepada-Nya hingga malam datang, waktu istirahat bagi mereka yang juga anugerah dari Dzat Yang Maha Pemurah.
Doplangkarta, 27.3.2021