Belum lama ini, tepatnya 7-11 Juli 2024, Grand Syekh Al-Azhar Kairo, Mesir Syekh Ahmad Thayyib mengadakan kunjungan ke Indonesia. Kedatangan Ketua Majelis Hukama Muslimin Dunia Imam ini memperoleh sambutan baik oleh masyarakat Indonesia dengan bukti cuplikan-cuplikan pidatonya yang berisi tentang pesan-pesan perdamaian, toleransi beragama, dan Islam tawassuth tersebar luas di berbagai platform sosial media.
Selain memberi pidato di beberapa tempat, Grand Syekh Al-Azhar ini juga bertemu dengan tokoh-tokoh besar di Indonesia, seperti Presiden Jokowi dan juga beberapa ketua partai politik.
Namun demikian, kedatangan Syekh Ahmad Thayyib ini rupanya masih meninggalkan perdebatan. Sebbab, ada beberapa kelompok yang mempermasalahkan apa yang terjadi ketika sang syekh bertemu dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri.
Hal yang dipermasalahkan dalam pertemuan ini adalah ihwal jabatan tangan yang terjadi antara dua tokoh tersebut. Banyak yang beranggapan bahwa apa yang dilakukan sang imam (berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram) adalah melanggar aturan syariat Islam. Mereka berdalih bahwa larangan berjabat tangan ini banyak kita temui dalam berbagai kitab fikih.
Benarkah begitu? Mari kita bahas.
Untuk menjawab permasalahan di atas, penulis akan langsung mengutip pandangan Syekh Ahmad Thayyib tentang hukum berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Pandangan ini sebenarnya sudah sejak lama disuarakannya, tepatnya sejak tahun 2001. Ketika itu, Syekh Ahmad Tayyib diwawancarai surat kabar al-Ahram. Pandangan ini kemudian ditulis kembali dalam salah satu kitab Syekh Ahmad Tayyib yang berjudul Min Dafatiri al-Qadimah (Catatan Lamaku).
Penulis akan mencoba memaparkan pandangan beliau ini dengan semudah mungkin dan akan mengelaborasikannya dengan pandangan ulama yang lain.
Dalam wawancara tersebut, Grand Syekh Al-Azhar ini mengatakan bahwa dalil yang biasa digunakan untuk melarang berjabat tangan dengan lawan jenis adalah salah satu hadis riwayat Imam Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir yang berbunyi:
عن معقل بن يسار رضي الله عنه أن رسـول الله صلى الله عليه وآله وسلم قـال :لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ
Artinya: Dari Ma’qil bin Yasar bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh (dengan syahwat) wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani).
Menurut Syekh Ahmad Thayyib, hadis tersebut tidak bisa serta merta menjadi dalil larangan berjabat tangan dengan lawan jenis. Sebab, makna lafazيمس (menyentuh) di dalam hadis terebut bukanlah sekadar menyentuh biasa saja seperti berjabat tangan, namun yang dimaksud adalah bersentuhan dengan adanya syahwat dan nafsu.
Hal tersebut berdasarkan argumen bahwa baik Al-Qur’an maupun hadis ketika mengungkapkan lafaz yang berakar dari lafaz مس (selanjutnya kita sebut sebagai mass agar lebih mempermudah pembaca), maka yang dimaksud adalah menyentuh yang disertai dengan syahwat, bukan menyentuh tanpa syahwat.
Pengarahan makna yang dilakukan oleh Grand Syekh ini sesuai dengan salah satu kaidah dalam usul fikih yang berbunyi: “Ketika ada pertentangan antara makna hakikat lughah (bahasa) dan makna hakikat syariat, maka didahulukan makna syariat.”
Dengan demikian, meskipun makna lafaz mass dalam bahasa Arab adalah bersentuhan secara mutlak (baik dengan syahwat atau tidak), namun makna tersebut sudah dibatasi oleh syariat hanya pada makna bersentuhan dengan syahwat saja.
Pembatasan makna mass ini juga bisa kita temui dalam berbagai nas Al-Qur’an, seperti dalam surat al-Ahzab ayat 49 dan surat Ali Imran ayat 47.
Dengan semua penjelasan tadi, menurut sang imam, hadis tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk melarang berjabat tangan dengan lawan jenis. Sebab, yang dimaksud mass di dalam hadis tersebut adalah bersentuhan dengan syahwat, bukan hanya sebatas bersentuhan biasa, seperti berjabat tangan.
Adapun, dalil yang menunjukkan kebolehan untuk berjabat tangan dengan lawan jenis adalah beberapa riwayat hadis sahih yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. pernah berjabat tangan dengan beberapa wanita. Ada juga riwayat yang menjelaskan bahwa ada sebagian wanita pada masa itu menyentuh kepala mulia Rasulullah. Saw.
Salah satu riwayat tersebut adalah hadis riwayat al-Bukhari yang berbunyi:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: كانت الأمة من إماء أهل المدينة لتأخذ بيد رسول الله صلى الله عليه وسلم، فتنطلق به حيث شاءت.
Artinya: Diceritakan dari Anas bin Malik bahwa pernah ada seorang budak perempuan memegang tangan Rasulullah dan ikut pergi ke mana Rasulullah Saw. (untuk membantu urusan beliau). (HR. Bukhari: 6072).
Dengan semua keterangan tersebut, Syekh Ahmad Thayyib berpandangan bahwa berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram selama tidak ada unsur syahwat dan nafsu adalah boleh, seperti berjabat tangan sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan.
Sebaliknya, apabila di balik jabatan tangan tersebut ada unsur syahwat dan nafsu, maka hukumnya haram.
Pandangan Grand Syekh ini juga diamini oleh Syekh Ali Jum’ah dalam salah satu fatwanya ketika masih menjabat menjadi mufti Mesir. Sama dengan Grand Syekh, Syekh Ali Jum’ah juga mengomentari kelemahan hadis yang digunakan dasar sebagai larangan berjabat tangan dengan lawan jenis. Bedanya, apabila Grand Syekh melakukan kritik isi atau naqd matan, Syekh Ali Jum’ah lebih mengritik kelemahan hadis tersebut dari sisi sanad atau naqd sanad.
Menurutnya, hadis yang digunakan sebagai landasan larangan berjabat tangan dengan lawan jenis lemah secara sanad karena ada perawi yang bernama Syaddad bin Said dalam mata rantai sanadnya. Syaddad bin Said ini dianggap lemah oleh beberapa ulama hadis. Dengan begitu, hadis tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk melarang berjabat tangan dengan lawan jenis.
Selain itu, Syekh Ali Jum’ah juga menyebutkan beberapa dalil kebolehan berjabat tangan dengan lawan jenis. Dalil tersebut antara lain adalah riwayat bahwa Umar bin Khattab menjabat tangan para wanita ketika baiat. Ada juga riwayat bahwa Abu Musa al-Asy’ari pernah membiarkan seorang wanita dari kabilah Asy’ari untuk membersihkan rambutnya.
Adanya riwayat dari para Sahabat ini jelas dapat memperkuat apa yang telah disampaikan Grand Syekh sebelumnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh Grand Syekh berupa berjabat tangan dengan Megawati bukanlah tanpa dasar.
Keterangan panjang-lebar tersebut kiranya cukup menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Grand Syekh mempunyai landasan hukum yang kuat secara fikih. Apalagi, konteks jabatan tangan yang dilakukan oleh Grand Syekh adalah dalam rangka kunjungan antara tokoh negara.
Memang harus diakui, hal ini adalah permasalahan khilaf (terjadi perbedaan) di antara para ulama fikih. Namun, seperti yang kita tahu, bahwa tidak ada larangan khilaf dalam masalah fikih selama landasan hukumnya dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam masalah fikih, seyogyanya kita tidak terburu-buru men-judge dan menyalahkan orang yang mempunyai pandangan berbeda. Karena, perbedaan ulama dalam masalah fikih adalah rahmat Allah untuk mempermudah umatNya dan menunjukkan bahwa syariat Allah akan selalu relevan dengan perubahan zaman. Sekian.
Referensi:
1. Thayyib, Ahmad. 2023. Min Dafatiri al-Qadimah. Dar al-Hukama: Kairo.
2. Fatwa Syaikh Ali Jum’ah : https://www.dar-alifta.org/