Hari Guru selalu ramai oleh ucapan manis, tetapi ada ironi di balik keramaian itu. Kita memuji guru sebagai pahlawan, lalu membiarkan mereka hidup dengan gaji pas pasan. Kita mengangkat guru sebagai ujung peradaban, tetapi pintu masuk untuk menjadi guru dibuat lebih longgar dibandingkan profesi lain yang jauh lebih rutin. Indonesia punya kebiasaan aneh: menyanjung orang yang justru tidak kita dukung secara struktural. Seperti memuji kitab kuning tapi malas membuka halamannya.
Padahal jika menengok tradisi lain, kita menemukan pola berbeda. India memandang guru sebagai guruji, figur pembentuk jiwa, hampir setara dengan orang tua. Finlandia memosisikan guru sebagai profesi elite yang seleksinya ketat dan bergengsi. Negara negara Eropa melihat guru sebagai pilar civic culture, budaya kewargaan yang membuat demokrasi berjalan penuh tanggung jawab. Bahkan dunia Islam klasik pun menempatkan muallim sebagai pewaris pengetahuan, figur yang dihormati karena membangun akal masyarakat. Di berbagai belahan dunia, posisi guru bukan sekadar pekerjaan, tetapi struktur peradaban.

Kontras itu membuat kita harus jujur melihat diri sendiri. Indonesia punya mimpi besar tentang masa depan, tetapi memperlakukan guru seperti posko darurat. Gaji rendah, beban tinggi, status tidak pasti. Masuk fakultas keguruan pun terlalu longgar. Akibatnya profesi ini kalah gengsi dari dokter, insinyur, atau hakim. Generasi muda yang paling cemerlang justru menjauh dari dunia pendidikan. Yang tersisa adalah mereka yang bukan tidak punya niat, tetapi tidak mendapat dukungan sistem yang memaksa mereka menjadi yang terbaik.
Di titik ini kita perlu bicara lebih keras. Pendidikan tidak mungkin berkualitas tanpa guru berkualitas. Teori ini bukan retorika; hampir semua penelitian pendidikan menunjukkan bahwa kualitas guru adalah salah satu faktor paling kuat dalam menentukan mutu belajar siswa. Jika negara tidak berani menaikkan standar seleksi guru dan menaikkan kesejahteraannya secara signifikan, kita sedang membangun rumah dengan tiang rapuh sambil berharap atapnya kokoh.
Lalu datang pertanyaan berikutnya: apa hubungannya semua ini dengan demokrasi? Hubungannya langsung. Demokrasi bukan sekadar sistem pemilu, tetapi sistem berpikir kolektif. Negara demokratis membutuhkan warga yang mampu menimbang argumen, membaca informasi, memahami kebijakan, dan tidak mudah diseret arus sentimen. Kemampuan seperti itu lahir dari pendidikan yang melatih nalar, bukan sekadar menghafal. Dan siapa yang melatih nalar? Guru.
