GURU KETABAHAN
Sungai memberikan air yang jernih
Tapi aku sungkan membangun toilet
Angin yang sejuk begitu berharga kala kemarau tiba
Namun aku memilih berjemur di pantai menikmati dosa
Wahai guru yang merahasiakan lukanya
Aku mendengar rintihanmu di sela suara serangga
Tersayat oleh tingkah kami yang engkau maafkan
Terkoyak oleh ulah kami yang nakal
Dengan sajadah lusuh kau mengetuk langit yang tak berpintu
Mengemis Robbana Rabbana di sujud sebelum akhirnya kau bangkit memijat lembut keningmu
Malam yang nyenyak milik dengkuran muridmu
Malam yang panjang untuk doamu
Engkau mengayuh sepeda ke sekolah berteman dengan sepi
Mendahului bayangan yang belum sempat dilukis mentari
Merasa dirimu sebagai contoh yang akan diteladani oleh murid yang kau ajari
Dan hasilnya mengecewakan, namun engkau tetap tabah hati
Maafkanlah…
9 Januari 2024.
MEMBACA PELANGI
(Mengenang Alm. Nuri Yaumil Fadilah, teman seangkatan)
Pelangi itu purna di pusara
Terhenti sebagai titik yang tak lagi mengata
Dalam sanubari orang yang melihat dan membaca
Pancarona dan diksimu abadi
Jika ada yang datang bertamu
Diam dan tetaplah tenang
Biarkan doa-doa yang menemui mereka
Dengan wahyu yang dibasahi air mata
Tanda tanya bukanlah apa-apa
Tiada buku tanpa halaman terakhir
Hanya saja lembaranmu usai di angka belia
Nantikanlah dengan damai
Di rak buku yang sama
Kita akan bertemu kembali
Sukorejo, 7 juni 2024.
PERGI TANPA INGIN
Telah bangkit sosok ingatan di foto yang kupandang
Berusaha mengalurkan masa silam yang tak lagi miliki ruang
Menjelma khayal yang tak kusadari membuat mataku haru
Sesekali terisak meraba kenangan yang telah berlalu
Sengaja kutulis cerita tapi mataku tak kuasa membacanya