Melalui sejumlah tulisan dan diskusi lisan, pada dasawarsa 1980-an hingga awal 1990-an, Gus Dur (selanjutnya disebut GD) melontarkan perdebatan baru tentang kebudayaan sebagai pertarungan antarkekuatan sosial dan kultural di tengah berlangsungnya kehidupan konkret-historis. Kebudayaan bukan sebagai onggokan nilai, norma, adat istiadat, atau benda-benda artefak sebagaimana yang dipandang masyarakat umum dan diperdebatkan budayawan dan akademisi ilmu sosial kala itu. Ia bukan pula sebagai persoalan “Barat dan Timur” atau modern-tradisional seperti yang diramaikan Takdir Alisyahbana-Sanusi Pane dan pengikutnya masing-masing tempo dulu.
Bukan hanya berbeda, lontaran GD itu mendahului dimulainya kajian budaya (cultural studies) kontemporer di Indonesia yang digulirkan sejumlah peneliti seperti Greg Acciaioli, J Pamberton, LJ Sears, M Zurbuchen, J Lindsay, P Yampolsky, dan Amrih Widodo. Karya-karya mereka yang berhasil memetakan bagaimana pertarungan antarkekuatan memperebutkan kesenian dan ritual (dan kebudayaan) baru yang dipublikasi pada 1995.
Dalam argumentasi perdebatan baru GD itu, bahwa kebudayaan, menurutnya, adalah seni hidup (the art of living) atau kehidupan sosial manusiawi (human social life) yang terbangun atas dasar interaksi sosial sesama manusia, individu, maupun kelompok. Kebudayan, dengan begitu, adalah milik warga masyarakat, bukan milik kelompok dominan seperti negara, agama, atau modal.
Bahkan, dalam pengertian tertentu, kebudayaan, bisa sebagai representasi proses emansipasi seorang manusia atau masyarakat menuju ke arah kehidupan yang lebih survive. Sebuah pandangan (definisi) yang tampaknya dimaksudkan untuk menggeser landasan diskusi definisi budaya yang bersifat moral (primordial) literer ke definisi budaya yang bersifat etnografis-antropologis, di mana perhatian utamanya pada proses yang dengannya makna dan definisi dikonstruksi secara sosial dan ditransformasi secara historis.
Dari konsep itu, ada tiga hal penting yang patut dicatat di sini. Pertama, bahwa sebagai kehidupan sosial, kebudayaan menjadi ruang terbuka yang memungkinkan setiap kekuataan atau kekuasaan, termasuk kekuasaan warga msyarakat, masuk bersama untuk berebut, bahkan mengintervensi baik secara hegemonik maupun represif dengan seluruh alasan yang diciptakan oleh masing-masing.
Dalam beberapa tulisannya, GD telah mengkritik keras bagaimana negara, agama resmi, dan pasar intensif memainkan peran dalam merekonstruksi dan menentukan arah kebudayaan rakyat. Kongres kebudayaan yang diselenggarakan negara, sebagai contoh, oleh GD dianggap sebagai bukti bagaimana negara mengintervensi, dengan melakukan birokratisasi kebudayaan rakyat yang hanya akan meniadakan dirinya sendiri (a-kultural) dan akan melahirkan kebudayaan semu.
Kedua, kebudayaan adalah sesuatu yang dibangun, diciptakan, dan dikonstruksi, bukan ditemukan (invented); GD menyatakan bahwa kebudayaan bukanlah heritage yang diwariskan. Oleh sebab itu, kebudayaan mengandung di dalam dirinya tiga hal: tidak ajek (given), tidak stabil (unstable), dan particular; suatu pandangan yang berseberangan dengan pandangan umum saat itu – bahkan hingga sekarang – yang percaya bahwa kebudayaan adalah esensial, ajek, beku (artefak), tak berubah, bisa diwariskan, dan bisa diunifikasi atau diseragamkan.
Ketiga, kebudayaan bersifat humanitis dalam arti bahwa mengandung nilai-nilai kemanusiaan, di mana hak-hak budaya bukan saja ada, tetapi juga diharus diberikan, sehingga setiap peserta kebudayaan memperoleh ruang untuk bertindak secara kreatif dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini, GD mengkritik birokratisasi dan artefakisasi kebudayaan yang secara eksplisit membekukan dan menyeragamkan derap kehidupan masyarakat yang hanya akan mengubah kebudayaan ke arah kebalikan dari emansipasi, yakni pembekuan daya cipta masyarakat justeru di tengah perubahan yang tengah berlangsung besar-besaran.
Dalam konteks Indonesia, GD mengajukan bahwa proses berkebudayaan yang paling strategis dan mutlak harus dilakukan adalah mengembalikan kebudayaan ke pundak dan tanggung jawab warga masyarakat, karena hanya dengan begitulah, menurut GD, keseimbangan antara negara dan kekuataan-kekuatan dominan lain dengan masyarakat dapat tercipta.
GD menyatakan: “Keseimbangan kekuatan negara dan masyarakat untuk melahirkan bangsa yang berbudaya mutlak harus diupayakan, dan keseimbangan itu barulah tercipta ketika negara telah benar-benar meletakkan tanggung jawab dan wewenang kebudayaan di atas pundak masyarakat sendiri”.
Kita juga berkali-kali mendengar GD bersuara, juga ketika ia menjadi presiden, “itu kan urusan masyarakat sendiri”, bahkan ketika menghadapi berbagai konflik di banyak tempat di negeri ini. Sebuah pernyataan yang kemudian, ini anehnya, mendapatkan kritik keras sebagai “tidak tegas”, “tidak mampu mengelola konflik”, dan sebagainya dari sebagian besar kalangan elite politik, karena hal itu dianggap costs yang terlalu mahal.
Mendesentralisasi Kebudayaan Bangsa adalah salah satu tulisan GD di Jawa Pos (November 1992). Secara eksplisit, dalam tulisan itu, GD yakin bahwa desentralisasi kebudayaan mutlak harus diwujudkan. Negara tak lagi boleh mengklaim mempunyai wewenang mengatur kebudayaan, demikian pula agama-agama resmi yang sering mempergunakan otoritas kesuciannya, para pemodal (kapitalisme) yang hanya akan melakukan komodifikasi, serta para akademisi (terpelajar kota/intelektual) yang suka berbangga akan kosntruks-konstruks sepihaknya. GD tidak menginginkan tumbuh dan berkembangnya kebudayaan berwatak politik-ideologis seperti yang selama ini diupayakan oleh birokrasi, sekelompok kaum agama, dan akademisi.
Benarkah bahwa desentralisasi (penyerahan) kebudayaan sepenuhnya kepada warga masyarakat itu dimaksudkan hanya untuk menciptakan keseimbangan negara-masyarakat? Tidak mungkinkah hal itu berkaitan dengan bangunan bangsa kita yang selama ini disusun dengan perekat politik, bukan dengan kebudayaan?
Jika pertanyaan itu benar, bisa dipastikan bahwa dengan tesis dan statemen tersebut, GD bermaksud menawarkan kemungkinan redefinisi dan rekonstruksi keindonesiaan dan kebangsaan kepada warga bangsa sendiri atas dasar kebudayaan, bukan atas dasar politik, apalagi militer yang bergandeng-mesra dengan agama dan modal.